Senin, 14 Juli 2014

RUMAH ADAT KERAJAAN MUNA



Anjungan atau bangunan induk anjungan mengambil bentuk Istana Sultan Buton (disebut Malige) yang megah. Meskipun didirikan hanya dengan saling mengait, tanpa tali pengikat ataupun paku, bangunan ini dapat berdiri dengan dengan kokoh dan megah diatas sandi yang menjadi landasan dasarnya. Patung dua ekor kuda jantan yan sedang bertarung, pelengkap bangunan, menggambarkan tradisi mengadu kuda dari Pulau Muna yang digemari masyarakat Sulawesi Tenggara. Di Taman Mini Indonesia Indah, anjungan Sulawesi Tenggara terletak di sebelah tenggara arsipel, bersebelahan dengan anjungan Sulawesi Selatan serta berhadapan dengan istana anak-anak Indonesia. Dalam memperkenalkan daerahnya propinsi Sulawesi Tenggara menampilkan bangunan induk yang merupaka tiruan dari istana raja Buton yang disebut Malige. Bangunan ini sengaja ditampilkan karena bangunan yang asli masih ada di pulau Buton serta merupakan satu peninggalan budaya yang bersejarah. Di halaman anjungan dilengkapi dengan patung-patung orang berpakaian adat antara lain dari daerah Buton, Muna, Kendari dan Koloka. Juga patung 2 ekor kuda jantan yang sedang berlaga, memperebutkan kuda betina. Adegan in menggambarkan Pogerano Ajara, jenis aduan kuda khas Sulawesi Tenggara, dan merupakan permainan raja-raja. Selain Anoa, Rusa dan lain-lain.
Rumah adat Buton atau Buton merupakan bangunan di atas tiang, dan seluruhnya dari bahan kayu. Banguanannya terdiri dari empat tingkat atau empat lantai. Ruang lantai pertama lebih luas dari lantai kedua. Sedangkan lantai keempat lebih besar dari lantai ketiga, jadi makin keatas makin kecil atau sempit ruangannya, tapi di lantai keempat sedikit lebih melebar.


Seluruh bangunan tanpa memakai paku dalam pembuatannya, melainkan memakai pasak atau paku kayu. Tiang-tiang depan terdiri dari 5 buah yang berjajar ke belakang sampai delapan deret, hingga jumlah seluruhnya adalah 40 buah tiang. Tiang tengah menjulang ke atas dan merupakan tiang utama disebut Tutumbu yang artinya tumbuh terus. Tiang-tiang ini terbuat dari kayu wala da semuanya bersegi empat. Untuk rumah rakyat biasa, tiangnya berbentuk bulat. Biasanya tiang-tiang ini puncaknya terpotong. Dengan melihat jumlah tiang sampingnya dapat diketahui siapa atau apa kedudukan si pemilik. Rumah adat yang mempunyai tiang samping 4 buah berarti rumah tersebut terdiri dari 3 petak merupakan rumah rakyat biasa. Rumah adat bertiang samping 6 buah akan mempunyai 5 petak atau ruangan, rumah ini biasanya dimiliki oleh pegawai Sultan atau rumah anggota adat kesultanan Buton. Sedangkan rumah adat yang mempunyai tiang samping 8 buah berarti rumah tersebut mempunyai 7 ruangan dan ini khusus untuk rumah Sultan Buton.

Adapun susunan ruangan dalam istana ini adalah sebagai berikut:
1 Lantai pertama terdiri dari 7 petak atau ruangan, ruangan pertama dan kedua berfungsi sebgai tempat menerima tamu atau ruang sidang anggota Hadat Kerajaan Buton. Ruangan ketiga dibagi dua, yang sebelah kiri dipakai untuk kamar tidur tamu, dan sebelah kanan sebagai ruang makan tamu. Ruangan keempat juga dibagi dua, berfungsi sebgai kamar anak-anak Sultan yang sudah menikah. Ruang kelima sebgai kamar makan Sultan, atau kamar tamu bagian dalam, sedangkan ruangan keenam dan ketujuh dari kiri ke kanan diperguakan sebagai makar anak perempouan Sultan yang sudah dewasa, kamar Sultan dan kamar anak laki-laki Sultan yang dewasa.
Di anjungan Sulawesi Tenggara, lantai pertama ini konstruksi atau susunan ruangan sudah diubah sesuai dengan keperluan, sebagi pameran dan peragaan aspek kebudayaan daerahnya. Di sini dipamerkan pakaian kebesaran tradisional raja Kendari beserta permaisurinya, juga pakaian kebesaran raja Muna,panglima perang atau Kapitalao, menteri besar atau Banto Balano dan Pasi yakni petugas pengurus benda pusaka kerajaan. Semuanya dipamerkan dengan bentuk boneka berpakaian tradisional tersebut. Di ruanga inipun dioamerkan berbagai jenis hasil kerajiana perak Kendari, kerajinan anyaman-anyaman, tenunan serta benda-benda pusaka, beberapa goci dan berbagai binatang yang telah diawetkan seperti penyu, burung Meleo, penyu bersisik, biawak, enggang dan lain-lain.
2 Lantai kedua dibagi menjadi 14 buah kamar, yaitu 7 kamar di sisi sebelah kanan dan 7 kamar di sisi sebelah kiri. Tiap kamar mempunyai tangga sendiri-sendiri hingga terdapat 7 tangga di sebelah kiri dan 7 tangga sebelah kanan, seluruhnya 14 buah tangga. Fungsi kamar-kamar tersebut adalah untuk tamu keluarga, sebagai kantor, dan sebagai gudang. Kamar besar yang letaknya di sebelah depan sebagai kamar tinggal keluarga Sultan, sedangkan yang lebih besar lagi sebagai Aula.
3 Lantai ketiga berfungsi sebagai tempat rekreasi
4 Lantai keempat berfungsi sebagai tempat penjemuran. Disamping kamar bangunan Malige terdapat sebuah banguan seperti rumah panggung mecil, yang dipergunakan sebagai dapur, yang dihubungakan dengan satu gang di atas tiang pula. Di anjungan bangunan ini di[pergunakan sebagai kantor anjungan. Pada bangunan Malige terdapat 2 macam hiasan, yaitu ukira naga yang terdapat di atas bubungan rumah, serta ukiran buah nenas yang tergantung pada papan lis atap, dan dibawah kamar-kamar sisi depan. Adapun kedua hiasan tersebut mengandunga makna yang sangat dalam, yakni ukiran naga merupakan lambang kebesaran kerajaan Buton. Sedangkan ukiran buah nenas, dalam tangkai nenas itu hanya tumbuh sebuah nenas saja, melambangkan bahwa hanya ada satu Sultan di dalam kerajaan Buton. Bunga nenas bermahkota, berarti bahwa yang berhak untuk dipayungi dengan payung kerajaan hanya Sultan Buton saja. Nenas merupakan buah berbiji, tetapi bibit nenas tidak tumbuh dari bibit itu, melainkan dari rumpunya timbul tunas baru. ini berarti bahwa kesultanan Buton bukan sebagai pusaka anak beranak yang dapat diwariskan kepada anaknya sendiri. Falsafah nenas in dilambangakan sebagai kesultanan Buton, dan Malige Buton mirip rongga manusia.
Anjugan daerah Sulawesi Tenggara dibangun sejak tahun 1973 dan diresmikan pengggunaannya pada tahun 1975.

Bertindak sebagai perancang terutama pada bangunan induknya adalah orang-orang adat dari bekas kesultanan Buton. Pada halaman anjungan terdapat arena pertunjukan dengan latar belakang relief, yang menggambarkan kebudayaan di Sulawesi Tenggara. Di arena inilah pada hari Minggu atau hari libur dipagelarkan kesenian tradisional seperti tari-tarian antara lain tari Kalegoa, tari Lariangi, tari Balumpa, tari Malulo dan lain-lain. Jenis tarian terakhir merupakan tarian pergaulan yang ditarikan dengan membentuk suatu lingkaran, bila besarnya lingkaran telah mencapai lebar arena, dibentuk lagi lingkaran baru di dalamnya, begitu seterusnya sehingga membentuk lingkaran yang berlapis-lapis karena semakin banyak orang yang melibatkan diri ikut menari tarian Malulo ini. Selain itu juga ditampilkan musik lagu-lagu daerah, dan diwaktu-waktu tertentu dipamerkan makanan-makanan khas daerah Sulawesi Tenggara ataupun karnaval tradisional. Anjungan daerah Sulawesi Tenggara telah menerima kunjungan tamu negara pada tanggal 1 Mei 1983 yakni istri P.M Jepang, Ny. Tautako Nakasone dan pada tanggal 10 November 1984 berkunjung pula istri P.M. Thailand, Ny. Virat Chomanan- (TMII)

SEJARAH KERAJAAN MUNA


A. SEJARAH TERBENTUKNYA KERAJAAN MUNA
 Sebagai Suku bangsa, Muna memiliki sejarah yang cukup panjang.  Dari situs sejarah yang ada di dinding Gua Liangkobori dan   Metanduno menanndakan bahwa peradaban suku bangsa muna dimulai sejak jaman purba mesolitikum. Relief yang ada didinding kedua Gua tersebut menggambarkan kehidupan masyarakat saat itu yang masih nomade dan menggantungkan hidupnya dari berburu dan meramu.
Menelusuri sejarah perdaban masyarakat dan sejarah kerajaan Muna memang agak sulit. Hal ini disebabkan kurangnya literatur  baik berupa manuskrip yang  ditulis oleh sejarawan Muna masa lalu naupun hasil  penelitian ilmiah yang dilakukan saat ini.
Sudah menjadi hal yang lumrah bila menulis Sejarah Muna para penulis menggunakan referensi sejarah buton. Penggunanaan referensi tersebut karena sejarah  buton tidak terlepas dengan sejarah Muna seperti suku muna yang telah mendiami daratan pulau buton sebelum armada mia pata miana mendarat di pulau buton dan la kilaponto Raja Muna VII yang kemudian dinobatkan menjadi Raja Buton VI yang berhasil menjadikan Buton sebagai Kesultanan dan Sultan I.
Dari berbagai literatur yang mengutip tradisi lisan masyarakat muna dan hikayat yang ditulis oleh penyair-penyair buton,  dikatakan bahwa sejarah peradaban manusia di muna dimulai ketika Sawerigading dan pengikutnya yang berjumlah 40 orang terdampar di suatu daratan di Pulau Muna yang saaat ini di kenal dengan namaBahutara.
 Sejarah kerajaan Muna dimulai setelah dilantiknya La Eli alias Baidhuldhamani gelar Bheteno ne Tombula sebagai Raja Muna I. Namun sebelum itu telah ada komunitas masyarakat yang diyakini merupakan perpaduan antara pengikut Swaerigading  yang berjumlah empat puluh orang dengan masyarakat lokal yang telah mendiami pulau muna sejak ribuan tahun yang lalu.
Sebagaimana yang dijelaskan pada bab-bab terdahulu bahwa Sawerigading bersama pengikutnya empat puluh orang yang menumpang sebuah kapal terdampar di sebuah wilayah yang  diberi nama ‘Bhahutara’pada saat sebuah pulau    mucul dipermukan  yang saat ini dikenal sebagai Pulau Muna.Setelah terdampar, empat puluh orang pengukut Sawerigading tersebut kemudian menyebar  dan membentuk koloni-koloni bersama dengan penduduk asli yang telah terlebih dahulu menghuni Pulau Muna, sedangkan Sawerigading sendiri diceritakan terus melanjutkan petualangannya.
Tidak ada yang menjelaskan  apakah Sawerigading melanjutkan petualangannya dengan kapalnya yang terdampar tersebut atau membuat kapal baru.Tapi yang jelas kehadiran Sawerigading dan emat puluh pengkutnya di Daratan Muna telah membawa nuansa baru dalam pembangunan peradaban dalam kehidupan Orang Muna.
Seiring dengan perkembangan zaman, koloni-koloni yang dibangun oleh pengikut Sawerigading tersebut bersama masyarakat lokal semakin besar hingga terbentuklah kampong-kampong. Setelah penduduk semakin banyak dan kampong yang terbentuk semakin luas serta  permasalahannya juga  yang semakin kompleks maka mereka mengangkat seorang pemimpin diantara mereka untuk mengatur seluruh kehidupan social mereka.
Menurut beberapa catatan sejarah mengungkapkan, sebelum terbentuknya kerajaan Muna, dimuna telah terbentuk delapan kampong dengan pembagian 4 kampong dipimpin oleh kamokula yaitu ;
1.       Tongkuno,pemimpinya bergelar Kamokulano Tongkuno
2.       Barangka,pemimpinnya bergelar Kamokulano Barangka
3.      Lindo, pemimpinnya bergelar Kamokulano Lindo
4.      Wapepi, pemimpinnya bergelar Kamokulano Wapepi
Sedangkan  empat kampung lainnya di pimpin oleh mieno yakni:
1.      Kuara, pemimpinnya bergelar Mieno Kaura
2.      Kansitala,pemimpinnya Mieno Kasintala
3.      Lembo,pemimpinnya bergelar Mieno Lembo
4.      Ndoke. Pemimpinnya bergelar Mieno Ndoke
Pembagian wilayah menjadi depan kampong tersebut bertahan sampai pemeritahan raja Muna VI Sugi Manuru.
Walaupun masih sangat sederhana, kedelapan kampong yang telah terbentuk mengikat diri dalam sebuah ‘Union’ dengan mengangkat Mieno Wamelai sebagai pemimpin tertinggi. ‘Union’ yang telah terbentuk itu sangat memudahkan Bheteno ne Tombula Raja Muna I dalam menyusun struktur pemerintahaan dan struktur social ketika awal-awal pemerintahannya.Union yang telah terbentuk sebelumnya belum dianggap sebagai Negara karena belum memenuhi syarat syarat sebagai sebuah Negara ( Kerajaan ).
Nantilah dilantik Bheteno Ne Tombula sebagai Raja Muna I,  Kerajaan Muna baru dapat dikatakan sebagai sebuah negara karena telah memenuhi syarakat-syarat sebagai sebuah negara yaitu telah memiliki Rakyat, Wilayah dan pemerintahan yang berdaulat dan seluruh stakeholder bersepakat untuk mengikat diri dalam sebuah pemerintahan dengan segala aturan-aturannya yang bernama Kerajaan Muna. 
Sepanjang sejarah kerajaan Muna lebih kurang 530 tahun( 1417—1949 ), tercata ada 39  orang Raja yang pernah memimpin Kerajaan Muna, terdiri dari 34 orang raja yang dipilih dan dilantik oleh Sarano Wuna yaitu lembaga yang memiliki kewenangan mengangkat dan memberhentikan raja, tiga orang di utus oleh Kesultanan Buton dalam rangka politik Kooptasi dengan pengaruh kekuatan Kolonial Belanda yaitu La Ode Umara II dan La Ode Maktubu dan La Ode Ngkaili serta  dua Orang sebagai  Raja Pengganti ( Pejabat Sementara ) karena terjadi kekosongan Kekuasaan akibat intervensi colonial Belanda  yaitu Wa Ode Wakelu ( Permaisuri Raja La Ode Ngkadiri yang digulingkan oleh belanda ) dan La Aka Bhonto balano yang juga saat menjabat Rajanya di Gulingkan Oleh pemerintah colonial Belanda.

B. KERAJAAN MUNA DIPIMPIN OLEH SUGI
Pasca pemerintahan Bheteno Ne Tombula 1467, Kerajaan Muna di pimpin oleh Sugi ( Yang Dipertuan).Tidak ada  catatan sejarah yang mengisahkan mengapa Raja-Raja Muna pasca Bheteno Ne Tombula bergelar Sugi.Namun dari cerita rakyat Muna sedikit mengungkapkan bahwa pemakaian Gelar Sugi tersebut menunjukan kedekatan hubungan antara Kerajaan Muna dengan Kerajaan-Kerajaan di Jawa khususnya Kerajaan Majapahit karena sugi tersebut berasal dari Bahasa Jawi Kuno yang artinya Suci atau dikeramatkan.
   Pemerintahan Kerajaan Muna yang dipimpin oleh Sugi berlangsung selama 71 tahun ( 1467 – 1538 ). Sepanjang sejarah Kerajaan Muna ada lima orang Sugi yang perna memimpin Kerajaan muna. Mereka itu adalah Sugi Patola, Sugi Ambona, Sugi Patani,Sugi La Ende dan Sugi Manuru.
 Dari kelima Sugi tersebut, Sugi Manuru lah yang paling banyak disebut-sebut dalam sejarah. Hal ini berkaitan dengan peranan beliau dalam melakukan penataan Sistem Pemerintahan, Kemasyarakatan, Sosial dan hukum di Kerajaan Muna. Karena jasanya tersebut, Sugi Manuru Oleh Masyarakat Muna di beri gelar “Omputo Mepasokino Adhati” artinya Raja yang menetapkan nilai-nilai dasar ( Adat ). 
D. kerajaan Muna Pra Islam
       Kerajaan Muna pra islam berangsuung selama 208 tahun ( 1417 -1625 ). Dalam kurung waktu tersebut kerajaan Muna dipimpin oleh 10 orang raja.  Pada masa pemerintaha pra islam tersebut tercatat terjadi beberapa peristiwa yang dilakkkan oleh Raja-Raja Muna yang terukir tinta emas dalam lembaran sejarah dunia.
Sayangya akibat kooptasi VOC Belanda dan Kesultana Buton serta terlambatnya pembudayaan tulis dan kurangnya minat masyarakat Muna dalam menulis sejarah maka goresan sejarah Putera Muna tersebut dicatat sebagai sejarah Buton. Akibatnya erajan Muna kurang dikenal dalam pergaulan kerajaan-kerajaan nusantara. 

ASAL USUL PULAU MUNA



Muna pada awalnya dikenal dengan namaWUNA.yang dalam Bahasa Muna berti bunga. Nama itu memberi makna spiritual kepada kejadian alamnya,dimana terdapat gugusan batu yang berbunga. Gugusan batu tersebut menyerupai batu karang. Pada waktu-waktu tertentu batu karang dimaksud kerap mengeluarkan tunas-tunas yag tumbuh seperti bunga karang. Oleh karena kejadian itulah maka masyarakat Muna menyebutnya sebagai Kontu Kowuna artinya Batu Berbunga .Gugusan batu berbunga tersebut terletak di dekat Masjid tua Wuna di Kota Muna yang bernamabahutara ( bahtera?). Tempat dimana Kontu Kowuna tersebut berada dipercaya sebagai tempat terdamparnya kapal Sawerigading, Putra Raja Luwu di Sulawesi Selatan Yang melegenda.
Saat ini, Muna dikenal sebagai nama sebuah Pulau yang terletak pada posisi 4006 samapi 5015 lintang Selatan dan 12208 123015 bujur timur, tepatnya diantara Pulau Sulawesi dibagian Tenggara, Pulau Buton di bagian Timur dan Pulau Kabaena di Sebelah Barat. Selain nama Pulau, Muna juga menjadi nama salah satu Kabupaten dari 12 Kabupaten/Kota yang ada di Sulawesi Tenggara dengan batas-batas administrasi;
1. Di Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Konawe Selatan dan Selat Spelman.
2. Sebelah Selatan dengan Kabupaten Buton.
3. Sebelah Timur dengan Kabupaten Buton Utara dan Kabupaten Buton,
4. Sebelah Barat berbataan dengan Laut Tiworo dan Kabupaten Bombana.
Selain itu Muna juga menjadi nama suku yang mendiami Pulau Muna dan sebagian besar Pulau Buton serta pulau-pulau disekitarnya yang menggunakan Bahasa Muna sebagai bahasa tutur diantara mereka.
Sebelum menjadi Kabupaten, Muna juga dikenal sebagai sebuah kerajaan yang berkedudukan di Pulau Muna bagian Utara dan Pulau Buton bagian Utara. Pembagian wilayah tersebut dilakukan pada masa Pemerintahan Raja Buton VI Lakilaponto dan Raja Muna VIII La Posasu. Kedua raja tersebut merupakan kakak beradik, Putra dari Raja Muna VI Sugi Manuru.
Sebelum menjadi raja Buton VI, La Kilaponto telah menjadi Raja Muna VII sehingga jabatan Raja di kedua kerajaan itu diembannya secara bersamaan selama tiga tahun bersama dengan kerajaan lainnya yakni Kaledupa, Konawe dan kabaena. Namun setelah dilantik menjadi Sultan Buton I ( menyusul perubahan kerajaan buton menjadi Kesultanan ), jabatan Raja di empat kerajaan lainnya yang diembannya selama tiga tahun ( 1538- 1541 M ) diseraahkan pada yang berhak untuk mengembannya.
Di Kerajaan Muna jabatan Raja diserahkan pada adiknya La Posasu, sedangkan dikeraajaan-kerajaan lainnya tidak ada cacaatan sejaarah yang mengisahkan bagaimana proses penyerahannya dan pada siapa diserahkan. Bersamaan dengan penyerahan kekuasaan di kerajaan Muna , turut pula dibagi wilayah kerajaan sebagaimana dijelaskan diatas.
La Kimi Batoa dalam bukunya Sejarah Muna terbitan CV. Astri Raha, menjelaskan pembagian wialayah tersebut karena kecintaan La Kilaponto pada dua wilayah di bagian Selatan Pulau Muna yaitu Gu dan Mawasangka sehingga beliau memohon pada adiknya sekaligus penggantinya sebagai raja Muna La Posasu agar kedua wilayah dimaksud menjadi bagian dari wilayah Kesultanan Buton. Sebagai gantinya, La Kilaponto menyerahkan dua wilayah yang sebelumnya masuk dalam wilayah Kesultanan Buton yang ada di bagian Utara Pulau Buton yakni Kulisusu dan Wakorumba ( Sebagian wilayah tersebut saat ini menjaadi Kabupaten Buton Utara).
Banyak kisah yang menceritakan asal usul Muna Sebagai sebuah pulau, baik itu dalam tradisi lisan dikalangan masyarakat Muna maupun hikayat yang ditulis oleh masyarakat Buton. Namunn secara ilmiah belum ada penelitian yang mengungkap kebenaran cerita-cerita tentang asal usul Pulau Muna tersebut.
Kendati demikian tradisi lisan yang hidup dikalangan masyarakatlah dan hikayat yang ditulis oleh masyarakat Buton yang sering dijadikan sebagai referensi dalam menulis sejarah asal usul Pulau Muna dan Pulau Buton.Untuk itu penulis akan menjelaskan satu persatu cerita dan hikayat tersebut.
A. HIKAYAT ASSAJARU HULIQA DAAARUL BATHNIY WA DARUL MUNAJAT
Hikayat Assajaru Huliqa Daarul Bathniy Wa Daarul Munajat”(Hakikat Kejadian Negeri Buton dan Negeri Muna- Buku Tambaga ) mengisahkan bahwa Pulau Muna dan Pulau Buton berasal dari segumpal tanah yang muncul dari dasar laut yang ditandai dengan sebuah ledakan yang maha dasyat. Hikayat tersebut menceritakan bahwa ketika Nabi Muhammad SAW. mengadakan rapat dengan para sahabat, tiba-tiba terdengar sebuah ledakan yang yang sangat keras hinga mengejutkan para sahabat yang lagi mengikuti rapat. Mendengar suara tersebut salah seorang sahabat bertanya pada Nabi Muhammad SAW. apa gerangan yang sedang terjadi. Pertanyaan sahabat itu dijawab oleh Nabi Muhammad SAW bahwasanya disebelah timur telah muncul dua buah Pulau ( Wuna & Buton ) yang mana penghuninya nantinya akan menjadi pemeluk agama Islam yang taat.
Olehnya itu diutuslah dua orang sahabat yakni Abdul Sukur dan Abdul Gafur untuk Mencari pulau dimaksud oleh Rasulullah SAW sekaligus menyebarkan agama islam di kedua pulau tersebut.
Dalam pencarian sebuah negeri sebagaimana yang di wasiatkan oleh Rasulullah SAW, kedua utusan tersebut terlebih dahulu menyinggahi beberapa negeri sebelum menemukan dua buah pulau ( ditemukan dalam arti hakiki ) di maksud yaitu Pulau Wuna - ( Muna ) dan Pulau Buton. Setelah kedua utusan tersebut menemukan negeri dimaksud ,maka ditancapkanlah sebuah bendera. Selain menancapkan bendera, kedua utusan tersebut juga memberikan nama pulau yang telah ditemukan yaitu Butuuni dan Munajat yang artinya Perut bumi dan Kesejahteraan.
Kisah seperti yang diceritakan hikayat “Assajaru Huliqa Daarul Bathniy Wa Daarul Munajat” mengenaiasal mula Pulau Muna dan Pulau Buton diatas secara ilmiah tidak dapat- dipertanggungjawabkan, sebab masa kerasulan Nabi Muhammad SAW di mulai setelah beliau berusia 40 tahun atau sekitar tahun 600-an M. jadi kalau mengacu pada buku “Assajaru Huliqa Daarul Bathniy Wa Daarul Munajat” berarti umur pulau Muna dan Pulau Buton baru sekitar 1400 tahun.
Intinya Buku tambaga hikayat Assjaru Huliqa Darul bathniy Wa Darul Munajat bukanlah teks sejarah tentang asal usul pulau Muna dan Pulau Buton. Hikayat Assajaru Huliqa Darul bathniy Wa Darul Munajat hanyalah mitos yang memberikan gambaran kebudayaan masyarakat Muna dan Buton.
B. TRADISI LISAN MASYARAKAT MUNA
Cerita lainya yang mengisahkan asal mula Pulau Muna adalah seperti yang dituturkan dalam tradisi lisan masyarakat Muna. Tradisi lisan tersebut telah menjadi referensi penulis sejarah Muna untuk menceritakan asal mula Pulau Muna, Dalam tradisi lisan itu dikisahkan bahwa Pulau Muna ditemukan oleh Sawerigading pelaut dari kerajaan Luwu di Sulawesi Selatan dan pengikutnya sebanyak 40 orang.Mereka itu terdampar di sebuah wilayah yang saat ini bernama BAHUTARA Bahtera?).Terdamparnya Kapal Swaerigading tersebut akibat munculnya pulau dari dasar laut.
Bukti terdamparnya kapal sawerigading tersebut adalah adanya sebuah bukit yang menyerupai sebuah kapal lengkap dengan kabin-kabinnya. Bukit yang menyerupai kapal tersebut diyakini oleh masyarakat Muna sebagai fosil dari Kapal Sawerigading yang terdampar tersebut. Ditutur kan pula pengikut Sawerigading yang berjumlah 40 orang tersebut kemudian menjadi cikal bakal masyarakat Muna.
Bukti lainya yang menguatkan keyakinan masyarakat Muna terhadap kebenaran tradisi lisan yang telah hidup berates-ratus tahun dikalangan masyarakat muna adalah adanya sebuah bukit karang yang mana pada waktu-waktu tertentu mengeluarkan bunga yang mirip dengan bunga karang. Bukit batu yang juga terletak di Bhahutara tersebut di namakan Kontu Kowunayang artinya batu berbunga. Bukit batu yang mengeluarkan bunga tersebutlah konon sebagai asal usul penamaan Pulau dan Kerajaan Wuna
Walaupu tradisi lisan masyarakat Muna tersebut dapat dijelaskan secara ilmiah, khususnya tentang awal terjadinya Pulau Muna namun tidak dapat dikatakan sebagai sejarah asal usul terjadian Pulau Muna karena dibumbui dengan mitos dan kisah-kisah luar biasa.
Jadi tradisi lisan masyarakat Muna tentang asal usul Pulau muna juga belum dapat dikatakan sebagai sejarah asal usul Pulau Muna, untuk itu perlu ada penelitian yang lebih mendalam lagi untuk membuktikan kebenaranya secara ilmih.
C. EPIK I LAGALIGO
Cerita yang memiliki kemiripan dengan tradisi lisan masyarakat Muna tentang asal usul Pulau Muna adalah epic I La galigo. Epic itu mengisahkan bahwa Sawerigading adalah seorang pelaut yang tangguh. Dia melakukan penjelajahan samudera setelah bersumpah untuk tidak kembali di negerinya ( Luwu) karena ditentang rencananya untuk menikahi Wa Tendriyabe yang ternyata saudara kembarnya.Dikisahkan dalam epik tersebut bahwa menurut adat masyarakat Luwu hubungan antara Sawerigading dan Wa Tanriabeng ( Saudara kembar ) tidak dibolehkan. Olehnya itu keduanya harus dipisahkan.
Tokoh dari kedua pada tradisi lisan masyarakat Muna dan Epic I La galogo memiliki kesamaan nama. Demikian pula dengan peranannya. Baik tradisi lisan masyarakat Muna maupun Epik I Lagaligo mengakui bahwa Sawerigading adalah seorang Pelaut.
Penyebutan nama yang diawali dengan La bagi laki-laki masyarakat Muna memiliki kemiripna dengan penyebutan nama orang laki-laki pada suku Bugis. Hal ini dapat menjadi bukti bahwa sangat besar kemungkinannya Sawerigading pernah singgah ( terdampar) di pulau Muna. Hal ini diperkuat oleh DR. Anhar Gonggong sebagai mana kutipan berikut :
Pemerintah pertama Muna yaitu Beteno Netombula juga dikenali sebagai Baidul Zamani adalah keturunan Sawerigading. Terdapat juga kisah lain yang mengatakan bahwa pemerintah pertama berasal dari Jawa, kemungkinan dari Majapahit. Permaisurinya bernama Tendiabe. Nama ini mirip dengan nama We Tenyirabeng, nama yang di dalam kisah La Galigo, yang menikah dengan Remmangrilangi’, artinya, ‘Yang tinggal di surga’. Ada kemungkinan Tendiabe adalah keturunan We Tenyirabeng. Pemerintah kedua, entah anak kepada Beteno Netombula atau Tendiabe atau kedua-duanya, bernama La Patola Kaghua Bangkano Fotu. ( La Galigo, Menelusuri Warisan Sastra Dunia DR. Anghar Gonggong)
Tapi apakah terdamparnya kapal Sawerigading tersebut merupakan awal dari munculnya Pulau Muna? Hal ini juga perlu penelitian yang lebih mendalam lagi.
D.RELIEF DI LIANGKOBORI DAN METANDUNO DAN MUSEUM KARTS INDONESIA
Asal usul keberadaan Pulau Muna yang dapat dijelaskan secara ilmiah karena telah melalui penelitian ilmiah adalah seperti yang dapat dilihat pada panel monitor museum karts Indonesia yang terletak di Desa Gebangharjo, Kecamatan Pracimantoro, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah.
Dari panel tersebut kita dapat mengetahi bahwa Pulau Muna hampir seluruhnya tersusun oleh batu gamping berumur Pleistosen (sekitar 1,8 juta tahun yang lalu). Batu gamping ini diperkirakan dari Formasi Wapulaka, seperti terlihat pada tebing-tebing batu gamping ( Karts ) di sepanjang pantai. Batu gamping ini merupakan terumbu karang yang terangkat dan sekarang membentuk kawasan kars yang luas.( Museum Karts Indonesia ).
Itu artinya bahwa pulau Muna sebelumnya adalah terumbu karang yang ada didasar lautan, namun karena desakan dari bawah maka terumbu karang tersebut muncul dipermukaan dan menjadi sebuah pulau. Bukti kuat dari itu adalah sebuah wilayah disekitar Kota Muna lama dimana ada hamparan batu karang yang pada saat-saat tertentu mengeluarkan tunas-tunas seperti terumbu karang didasar laut, namun warnanya agak berbeda yaitu putih. Tempat itu dikenal dengan Kontu Kowuna yang artinya batu berbbunga.
Selain data yang tersimpan pada museum karts Indonesia, yang telah diteliti seecara ilmiah adalahrelief yang ada di gua Liangkobori dan gua MetandunoRelief yang terdapat di dinding gua tersebut menggambarkan kehidupan dan peradaban masyarakat Muna pada jaman purba. Relief tersebut menurut beberapa penelitian telah berumur lebih dari 25.000 tahun. Itu artinya bahwa jauh sebelum itu Pulau Muna telah ada dan telah di huni oleh manusia.
Sorry, there are no polls available at the moment.

Urutan Sarano Wuna

Urutan-urutan Sarano Wuna
(Bahasa Muna : Pasangkululi)




    

  1.Regu Pogala ialah regu perintis yang bersenjatakan tombak pemungkas (Gala). Sebagai regu perintis jalan, mereka memperagakan tarian perang, yang diperagakan oleh 4 orang prajurit pilihan. Seorang pemegang Tombi(bendera), seorang memainkan Gala, dan dua orang lainnya memukul gendang Pomani (gendang perang).
  





2. Omputo (Raja) : sebagai kotubu (kutub kekuasaan) : ia memakai peci poporoki (Daster Kebesaran) dan dipayungi dengan Pau (Payung Kebesaran). Sebagai Ulil’amri, ia mengenakan kostum Balahadhadha (simbol dari perlindungan segenap warga); disapa dengan Waompu (Kromo Inggil). Bersenjatakan Pasatimpo (Keris Pusaka) yang diselip pada lilitan Sulepe (Pending). Berjalan diapit oleh 2 orang Kapitalao (Laksamana); disebelah kanannya Kapitalao Matagholeo (Laksamana Armada Timur); disebelah kirinya Kapitalao Kansoopa (Laksamana Armada Barat).
3.  Kapitalao (Laksamana) : pimpinan sayap militer Sarano Wuna. Membawahi 4 komando daerah masing-masing  1 Kapita dan 3 Bharata (Bharata Tolu Peleno). Memakai daster dan baju kebesaran militer seorang Laksamana, kedua orang Kapitalao mengapit Omputo. Kapitalo Matagholeo memegang pedang kebesaran yang dijulukiLa wiira ninggai meharono tapuaka (si penangkal isu, si penyapu bagai tsunami).
Sambil memegang pedang kebesaran dengan Ewa Wuna (Pencak Silat Khas Muna) dengan suara menggelegar ia berkata : ‘Turu, turu,turu; laha lahae somogilino wampanino, bisaramo nando aitu; ainihae la wiira ninggai meharono tapuaka; turu, turu, turu (tunduk, tunduk, tunduk; siapa-siapa yang ingin menentang, katakanlah sekarang jga; ini dia si penangkal isu, si penyapu bagai tsunami).
Kapitalao Kansoopa memegang Pandanga (Tombak Kebesaran) dalam sikap siaga penuh menunggu kalau-kalau ada penantang.
4.  Bhonto Bhalano (Mangkubumi); ia adalah penyelenggara kekuasaan pemerintahan. Membawahi 4 Ghoera (Wilayah Besar) dan 8 orang Bobato (Adi Pati). Memakai daster dan baju kebesaran seorang Mangkubumi. Disebelah kirinyaMintarano Bhitara (Hakim Tinggi), berjalan sejajar. Pasangan itu diapit oleh Fato Ghoerano 94 pimpinan wilayah besar) : Koghoerano Tongkuno dan Lawa disebelah kanan Bhonto Bhalano, Koghoerano Kabhawo dan Katobu disebelah kiri Mintarano Bhitara. Keenam orang ini adalah anggota Majelis Tinggi diketuai oleh Bhonto Bhalano. Merekalah yang berhak memilih Raja dan Kapitalao. Dibelakang barisan bersaf mereka, berjejer Fato Lindono (4 orang staf) pribadi Raja). Mereka adalah personifikasi dari filosofi kemasyarakatan : Kainsitala (Kesejajaran/kesetaraan), Kaura-ura(Kreatifitas), Bhalembo-lembo (perkumpulan/persatuan) dan Ndoke (cerdas dan tangkas).
5.     Bharata Tolu Peleno menggunakan pakaian kebesaran militer  Sarano Wuna, mereka adalah pimpinan komando daerah militer  di 3 Bharata : Laghontoghe, Loghia, dan Wasolangka.
6.     Bobato Oaluno; dengan pakaian kebesaran seseorang Adipati merekalah ini adalah pimpinan di delapan Bobato : Labhoora, Lakologou, Lagadi, Watumelaa, Lasehao, Kasaka, Mantobua dan Tobea.
7.      Sara Hukumu (Hukamah) terdiri dari :
    A.  Kino Agama (Ketua Ulama); berdiri disebelah kiri Raja. Pasangan ini mempersonifikasikan harmoni      ulama   dan umara. Memakai jubah kebesaran dan sorban Kino Agama, jubah ini adalah simbol perlindungan segenap warga.
   B .   Imamu (Imam Mesjid Raya); memakai jubah dan sorban seorang imim. Pakaian itu adalah simbol dari perlindungan segenap warga terhadap adhala hu yaitu ajal yang disebabkan oleh petaka kemanusiaan mulai dari ubun-ubun hingga leher manusia.
   c.  Hatibi Ruduano (Pasangan Hatib); memakai jubah dan sorban seorang hatib. Keduanya mengapit imam di kanan kirinya. Khatib Tongkuno di kanan dan Khatib Lawa di kiri. Pakaian kedua Khatib adalah simbol perlindungan segenap warga dariadhala ha yaitu ajal yang disebabkan oleh petaka kemanusiaan mulai dari bahu hingga pinggul manusia.
  d. Modhi Kamokula popaano (4 Moji Senior); memakai juba dan sorban Moji senior, berjejer dibelakang Imam. Juba dan sorban mereka adalah simbol perlindungan segenap warga dari Adhala Hi yaitu ajal yang disebabkan oleh petaka kemanusiaan yang menimpa keempat anggota tubuh manusia.

Barisan inilah yang disebut Kolambu Rayati (Kelambu Rakyat). Zaman Kerajaan dahulu Raja dan Sara Hukumu bertanggung jawab apabila petaka (bencana) kemanusiaan menimpa warga. Bila pertanggung jawabannya tidak beralasan cukup, Mahkamah Sarano Wuna berhak memberhentikan mereka.

  E.  Modhi Anahi Popaano (4 Moji Yunior) juga memakai jubah dan sorban. Mereka adalah aparat yang sewaktu-waktu menggantikan tugas-tugas Modhi Kamokula bila mereka berhalangan.

Sara Hukumu bertugas melantunkan takbiru (Takbir khas Muna) didalam setriap kirab seperti ini.

    F.  Modhi Popaano Loghia (4 orang Moji dari mesjid Loghia); memakai jubah dan sorban seorang Mijo Bharata. Tugas mereka adalah Tambi yaitu menopang Takbiru yang dilantunkan oleh Sara Hukumu. Barisan mereka bersaf dibelakang barisan modhi anahi.

8.      Bhelo Bharuga (Aparat Keraton) terdiri dari :

   A. Wangkaawi (Regu pembawa senjata Kerajaan) berjumlah 12 orang terdiri dari : Tunani (perwira) 4 orang. Firisi (Opsir) 4 orang, Siriganti (Bintara) 4 orang. Jejeran Tunani didepan, Firisi ditengah dan Siriganti dibelakang.
  B.   Kapita (Pimpinan Komando kawal Keraton); berpakaian kebesaran selaku Perwira Militer, bersenjata keris, berjalan disebelah kanan Wangkaawi.
   C.  Bhonto Kapili (perwira pilihan); terdiri dari 4 orang perwira. Seorang memayungi raja dengan payung kebesaran; dua orang ajudan dan seorang lainnya memegang gambi (kendaga) raja yang berisi sirih pinang serta perlengkapannya. Mereka berderet dibelakang raja.
     D. Pasi (Prajurit Yudha); brpakaian seragam militer Sarano Wuna dan berenjata. Terdiri dari 40 orang, 5 staf masing-masing 8 orang.
    E.   Bhonto Litau (pemangku Protokol Keraton); berpakaian resmi sebagai seorang pemangku dan bersenjata. Berderet bersama barisan fato lindono.
  F. Sampu Moose (Kejora Hinggap) berjumlah 10 orang Keda-keda (dedara). Berpakaian resmi Sampu Moose, menunggangi 10 ekor kuda berlonceng dan berkekang kuningan. Dikawali oleh 10 orang pemuda perkasa, Sampu Moose adalah regu pelestari tarian Linda (Limbai) selaku tarian asli Muna.

BAB V RAJA—RAJA MUNA DAN PERJUANGANNYA



BAB V
RAJA—RAJA MUNA 
DAN PERJUANGANNYA.
Dari 39 Raja-Raja Muna yang telah memerintah dikerajaan muna tidak semua memiliki catatan sejarah yang dapat diungkap .  Untuk itu dalam tulisan ini penulis hanya mengungkap beberapa orang saja dengan perjuangannya masing-masing serta masa pemerintahan dan sistem pemerintahannya..
Pengungkapan ini bertujuan untuk menjadi pembelajaran  pada geberasi agar mereka mengenal sejarah kejayaan nenek moyang mereka serta bagaimana perjuangan mereka dalam membesarkan Kerajaan Muna dan kegigihan mereka dalam mengusir penjajah belanda dari Kerajaan Muna.Pengungkapan sejarah ini juga bertujuan untuk menumbuhkan rasa bangga sebagai generasi Muna karena ternyata  raja-raja Muna masa lalu telah menggoreskan tinta emas dalam catatan sejarah, baik sejarah ditingkat Lokal Sulawesi tenggara maupun ditingkat nasional.Raja-Raja Muna dan segenap masyarakatnya masa lalu juga tidak pernah tunduk dengan imperialisme dan liberalisme.

1. Raja Muna I – La Eli alieas Baidhuldhamani Gelar Bheteno Ne Tombula,  ( 1417 – 1467 ),
Bheteno ne Tombula alias La Eli alias Baidhul Jamani adalah Raja Muna I. Bheteno ne Tombula  dipercaya sebagai orang pertama yang memulai beradabaan baru  dalam sistem sosial kemasyarakatan di Muna. Hal ini dikarenakan pada masa pemerintahan Bheteno Ne Tombula Muna menjadi sebuah kerajaan dengan struktur  pemerintahan dan struktur sosial yang lebih moderen. Sebagai seorang raja Sugi manuru juga melakukan penataan dalam sistem administrasi pemerintahan, walapun pada waktu itu masyarakat Muna termasuk raja belum mengenal tuulisan. 
Bheteno Ne tombula bukanlah orang Muna, beliau ditemukan dalam rumpun bambu oleh sekelompok orang yang ditugaskan utnuk mencari bambu pada saat diadakan pesta besar di Wamelai.
  1. A.   Bheteno Ne Tombula Versi Tradisi Lisan Masyarakat Muna
Dikisahkan dalam tradisi lisan masyarakat Muna bahwa pada suatu hari,Mieno ( Pemimpin Wilayah ) Wamelai  akan mengadakan  pesta raya, seluruh masyarakat  Muna di delapan wilayah dikumpulkan untuk turut membantu mempersiapkan pelaksanaan pesta tersebut.
Sekelompok orang yang ditugaskan untuk mencari bamboo dihutan, menemukan seorang lelaki yang gagah perkasa di dalam rumpun bamboo yang akan ditebang, ada juga yang mengisahkan bahwa manusia  tersebut ditemukan dalam ruas bamboo.
Karena penemuan tersebut dianggap aneh, lelaki itu kemudian  dibawah menghadap pada mieno Wamelai . Dihadapan mieno Wamelai  dan pemimpin wilayah lainnya lelaki itu mengaku bernama  LA ELI  alias BAILDHUL  JAMAANI Putra Raja Luwu di Sulawesi selatan. Dituturkan dalam tradisi lisan, kedatangan LA ELI  alias BAILDHUL  JAMAANI  di Muna untuk menunggu  istrinya yang saat ini sedang hamil dan akan datang menemui dirinya. Tempat pertemuan yang mereka sepakati untuk pertemuan itu adalah Pulau Muna (Wuna).  
Selang beberapa hari setelah penemuan manusia dalam rumpun bamboo tersebut, tersiar  kabar bahwa di Lohia pesisir Timur Pulau Muna, tepatnya di Laguna Napabale ditemukan seorang wanita cantik. Wanita tersebut mengaku bernama WA TANDI ABE .  berasal dari kerajaan Banggai di Sulawesi Tengah, dia datang di Muna dengan menumpang sebuah talang dan terdampar ditempat itu. Tujuan kedatangannya adalah  untuk bertemu dengan suaminya yang telah menungguhnya disuatu tempat dimana talang yang ditumpanginya terdampar.
Kabar tentang terdamparnya seorang wanita di Lohia tersebut  tersebar luas begitu cepat dikalaangan masyarakaat. Pada suatu hari kabar itu  sampai juga ditelinga MIENO WAMELAI di Tongkuno, sehingga beliau memerintahkan agar wanita tersebut di dibawa menghadap dirinya guna dipertemukan dengan LA ELI alias BAIDHULJAMANI  untuk di konfrontir.
Ternyata  setalah dipertemukan keduanya mengaku sebagai suami istri dan mereka yang saling mencari  . Dalam pertemuan tersebut Wa Tandi Abe juga mengaku dalam keadaan hamil, dan janin dalam rahimnya tersebut adalah darah daging dari LA ELI alias BAIDHUL JAMANI suaminya yang ada dihadapannya saat ini.
Karena peristiwa itu dianggap luar biasa dan tidak lazim, maka rapat dewan adat menyepakati untuk ‘memingit’  keduanya dalam sebuah kelambu selama tujuh hari tujuh malam. Tujuan pemingitan adalah untuk  mencegah hal-hal negative yang timbul akibat penemuan dua orang yang aneh tersebut dan mengaku sebagai Suami istri. 
Setelah tujuh hari dalam  ‘pingitan’, ternyat tidak ada  kejadian  yang luar biasa sehingga  keduanya di keluarkan dari pingitan kemudian di nikahkaan kembali menurut adat yang berlaku dikalangan masyarakat Muna.
Peristiwa pemingitan tersebut akhirnya menjadi tradisi dan menjadi syarat yang harus dilalui seseorang yang akan menjadi Raja Muna.  Peristiwa ini juga menjadi tradisi  yang harus dilalui seorang wanita  yang telah memasuki usia baliqh sebagai tanda kalau wanita tersebut sudah siap untuk dinikahkan. Tradisi ini diberi nama ‘ Kaghombo’ dan masih terpelihara dengan baik sampai saat ini.
Perkawinan antara LA ELI alias BAIDHUL JAMANI dengan WA TANDIABE  melahirkan tiga anak yaitu KAGHUA BANGKANO FOTU. RUNTU WULAE danKILAMBIBITO. KAGHUA BHANGKANO FOTU  kemudian menjadi Raja Muna IIdengan gelar SUGI PATOLASugi berarti ’Yang Dipertuan’.   RUNTU WULAEkembali ke Luwu untuk menjadi Raja di sana  sedangkan  KILAMBIBITO  kawin dengan LA SINGKABU (kamokulano Tongkuno) Putera dari MINO WAMELAI (La Kimi. Sejarah Muna, Jaya Press ).       
LAKILAPONTO  Raja Muna VII dan Raja Buton VI/ Sultan Buton I  manusia yang fenomenal karena pernah memimpin lima kerajaan dalam waktu yang bersamaan  berasal dari garis keturunan sugi tersebut. 
Dalam sebuah rapat dewan adat dan semua pemimpin wilayah, disepakati bahwa La Eli atau Badhuljamani adalah manusia sakti dan pantas untuk dinobatkan menjadi pemimpin tertinggi di Muna. Setelah dinobatkan menjadi pemimpin tertinggi, La Eli/ Baidhuljamani mendeklarasikan Muna sebagai sebuah Kerajaan dan dirinya adalah Raja Pertama dengan Gelar Bheteno Ne Tombula ( yang Muncul di Bambu ) sedangkan istrinya ( permaisuri ) bergelar Sangke palangga ( yang menumpang pada talam). Sejak saat itulah Muna menjadi sebuah kerajaan.
  1. B.  Menata Sistem  Pemerintahan
Tugas pertama Bheteno ne Tombula Setelah di nobatkan menjadi Raja Muna I adalah  melakukan penataan struktur pemerintahan dan struktur masyarakat di Kerajaan Muna. Sistem  pemerintahan yang dibangun  pada awal masa pemerilnahan Bheteno Netombula tersebut merupakan penyempurnaan dari sistem pemerintahan terdahulu ( yang masih bersifat kelompok-kelompok komunitas  dan berdiri sendiri-sendiri. Lembaga-lembaga pemerintahan yang merupakan prasyarat sebuah negara pun dibentuk dan  kelompok – kolompok komunitas yang tadinya berdiri sendiri diikat dalam sebuah lembaga besar yang bernama kerajaan Muna.  
Strukur pemerintahan yang dibentuk oleh Bheteno Ne Tombula sebagai penanda berdirinya sebuah kerajan adalah:
:Þ Raja, sebagai kepala Negara dan kepala pemerintahan dengan gelar Kino Wuna. Raja memiliki kewenangan dan kekuasaan yang sangat luas dan besar yang melingkupi seluruh wilayah kerajaan. Titah raja merupakan hukum yang harus dipatuhi oleh seluruh rakyat.
Þ Kepala Pemerintahan Wilayah   dengan gelar Mieno (pemimpin )  dan Komokula ( Yang dituakan ) Kepala pemerintaha wilayah berkuasa dan memiliki kewenangan dalam wilayah kekuasaannya dan tunduk pada Raja sebagai pemimpin tertinggi. Wilayah administrsi pemerintahan wilayah berdasarkan pembagan wilayah terdahulu sebelum terbentuknya kerajaan Muna. Pemerintahan wilayah tersebut berjumlah 8 wilayah masing-masing 4 wilayah dipimpi oleh “ Mieno “  dan 4 wilayah dipimpin oleh “ Kamokula “. Kedelapan wilayah tersebut adalah :
Pemerintahan wilayah tersebut kemudian dikenal dengan “ Wawono Liwu “ ( Negeri terdahulu ) adalah :
Empat yang dimpin Mieno
1. Mieno Kaura
2. Mieno Kansitala
3. Mieno Lembo
4. Mieno Ndoke. Dan
Empat yang dipimpin Kamokula :
1. Kamokulano Tongkuno
2. Kamokulano Barangaka
3. Kamokulano Lindo
4. Kamokulano Wapepi
Kedelapan kepala pemerinahan admiistrasi pemerintahan wilayah tersebut an keturunanannya kemudian oleh Sugi Manuru Raja Muna VI ketika melakukan penetapan strakta sosial dalam masyarakat Muna dikenal sebagai “ Wawono Liwu “
Þ Papara (Rakyat)   atau kelompok yang diatur dengan gelar Ana ( yang dianggap anak ).
C. Pembagian Golongan
Bheteno Ne Tombula  juga melakukan pembagian strata/ penampisan golongan membagi masyaraakat  Muna menjadi tiga Golongan yaitu :
 Golongan Beteno Ne Tombula, Golongan ini  yang berhak menjadi raja.
 Golongan Mieno Wamelai, Golongan ini  berhak untuk menjadi kepalah pemerintahan wilayah.
 Golongan Rakyat adalah  orang yang diatur.
2. Raja Sugi Manuru ( 1527-1538 .
SUGI MANURU adalah Raja Muna VI terkenal bijaksana dan memiliki wawasan luas dan sangat ahli dalam ilmu ketata negaraan.  Dikalangan masyarakat Muna   SUGI MANURU  diberi gelar sebagai ‘ omputo mepasokino Adhati’  artinya Raja yang menetapkan Hukum , adat, nilai-nilai dan falsafa dasar berbangsa dan bernegara. Gelar tersebut diberikan sebab pada masa pemerintahan SUGI MANURU lah  dirumuskan dan ditetapkan tatanan,  nilai-nilai dasr dan sendi-sendi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di kerajaan Muna.
Tatanan kehidupan bermasyarakat yang dirumuskan dan ditetapkan pada masa pemerintahan Sugi Manuru. Nilai-nilai dan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara tersebut dikaitkan dengan   relevansi wilayah dalam hubungannya dengan manusia, alam dan Tuhan.
Penetapan hubungan wilayah dengan manusia tersebut dipengaruhi oleh ajaran dan nilai-nilai islam. Itu artinya walaupun Sugi manuru belum memeluk islam, namun nilai-nilai islam telah berpengaruh di kalangan istana kerajaan Muna.
Masuknya pegaruh islam di Kerajaan Muna dalam sistem ketatanegaraan dikrajaan Muna pada masa pemerintahan Sugi manuru setelah masuknya penyebar islam I di Muna yaitu Syekh Abdul Wahid. Menurut beberapa catatan, Syekh Abdul Wahid adalah seorang misionaris islam yang berasal dari Arab. Namun ada juga yang mengatakan bahwa beliau adalah pedagang dari Gujarad.
Islam mulai diajarkan  secara luas oleh Syekh Abdul Wahid di Kerajaan Muna pada masa-masa akhir pemerintahan Sugi manuru. Salah satu murid pertama Syekh Abdul Wahid adalah La Kilaponto, Putera Raja Sugi Manuru yang kemudian menjadi Raja Muna VII dan akhirnya menjadi Raja Buton VI.
Setelah Menjadi Raja Buton, La Kilaponto kemudian memboyong gurunya tersebut di kerajaan Buton. Hal inilah yang menyebabkan proses islamisasi di kerajaan muna menjadi terhenti
.Hal yang berbeda terjadi di Kerajaan Buton. Seiring dengan peningkatan intensitas pengajaran islam di kalangan masyarakat buton, maka proses islamisasi di Kerajaan tersebut  berjalan sangat pesat. Bahkan dalam waktu tiga tahun agama Islam resmi menjadi agama kerajaan.
Bukti diterimanya agama islam sebagai agama kerajaan adalah berubahnya bentuk Kerajaan menjadi kesultanan dan Sultan pertamanya adalah La Kilaponto. Setelah resmi menjadi Sultan, Lakilaponto Kemudian BergelarSultan Qaimuddin Khalifatul Khamis.
Sebagai mana halnya dengan pemerintahan tradisonal lainnya, di kerajaan Muna juga menganggap  seorang raja sebagai poros kekuaasaan dan sumber keteladanan. Jadi apapun yang dilakukan, diyakini atapun yang dititahkan  raja  maka semua warga kerajaan  wajib mengikuti tanpa terlebih dahulu menannyakan apalagi menilai baik-buruknya. Jadi karena Islamisasi fase pertama ini belum mampu mengislamkan raja serta masih kuatnya keyakinan Orang Muna dengan kepercayan leluhurnya yaitu animisme dan dinamisme maka misi Misionaris Islam pertam yakni Syeh Abdul Wahid di Muna dapat dikatakan mengalami kegagalan, walau tidak sepenuhnya sebab Raja Munasaat itu Sugi Manuru telah banyak memiliki pehaman terhadap nilai-nilai islam.
Sebagai mana yang dijelaskan terdahulu, Walaupun pada masa PemerintahaSUGI MANURU Islam baru diperkenalkan oleh Syekh Abdul Wahid  di Kerajaan Muna serta  SUGI MANURU sendiri belum memeluk islam, namun sepertinyaSUGI MANURU telah memiliki pemahaman yang kuat terhadap nilai-nilai Islam.
Pemahaman Sugi manuru terhadap nilai-nilai islam  dapat dilihat saat membagi  Kerajaan dalam empat wilayah besar yang disebut dengan Ghoera yaitu Ghoerano Tongkuno, Ghoerano Lawa, Ghoerano Katobu. Dan Ghoerano Kabawo
Pembagian wilayah Kerajaan Muna menjadi empat Ghoera tersebut oleh Sugi manuru di ibaratkan sebagai ;
1. Ghoerano Tongkuno di ibaratkan asal api hurufnya alif.
2. Ghoerano Lawa di ibaratkan asal angin hurufnya ha.
3. Ghoerano Kabawo di ibaratakan asal air huruf nya mim.
4. Ghoerano Katobu di ibaratkan asal tanah huruf nya dal.
Pengibaratan tersebut bertitik tolak pada  hakikat penciptaan manusia yang memiliki  sifat– sifat  api, angin,air dan tanah.Keempat sifat tersebut kemudian diuraikan sebagai berikut ; 
1. Sifat api; adalah menggambarkan  manusia yang memiliki  emosi. Sebagaimana Api, emosi ini kalau dikelola dengan baik akan memberi manfaat bagi banyak orang, tapi kalau tidak terkontrol maka akan menyebabkan kehancuran yang besar.
2. Sifat angin adalah menggambarkan manusia yang memiliki  ambisi. Ambisi yang dimiliki setiap manusia itu bagaikan senjata. Kalau ambisi berada pada orang yang baik maka ambisi itu akan  diarahkan pada hal-hal yang positif dan menjadi motifasi untuk mencapai kesuksesan dengan cara-cara yang benar.  Tapi kalau berada pada orang yang tidak baik maka akan diarahkan pada ha-hal yang negative bahkan kadang  menghalalkan segala cara untuk mencapai apa yang di cita-citakaan.
3. Sifat air menggambarkan  sifat manusia yang tenang selalu memberikan kesegaran dan kesejukan serta  menghilangkan dahaga. Namun demikian kalau pengelolaan dan penggunaanya dilakukan dengan cara yang tidak baik dan tidak benar, maka akan menjadi petaka. Air juga memiliki sifat selalu mengalir ditempat yang lebih rendah, maksudnya manusia harus memiliki sifat rendah hati, tidak sombong walau memiliki kekuatan yang besar.
Hal yang paling pokok adalah sifat air yang selalu mengikuti bentuk wadahnya, ini artinya manusia harus dapat beradaptasi dengan situasi dan kondisi dimana dia berada.
4. Sifat Tanah diibaratkan sebagai sifat manusia yang sabar dan tidak menuntut imbalan atas segalah sesuatu yang dilakukan untuk kepentingan orang lain. Hal ini dapat dilihat dari sifat tanah yang selalu sabar walalupun telah menumbuhkan tanaman sebagai sumber kehidupan manusia, walaupun telah menyediakan tempat untuk berpijak manusia tapi dia tidak pernah menuntut imbalan. Bahkan ketika diinjak dan diberaki tanah tidak pernah marah.
Selain itu empat huruf yang digunakan sebagai pengandaian empat wilayah dalam Kerajaan Muna tersebut kalau dirangkai suatu kalimat ” Ahmad” Ahmad ini dalam sejarah islam dan dalam Al-Qur’an disebut sebagai nama lain dari Muhammad SWA, nabi dan rasul junjungan umat islam.
Begitu bijaksananya , sehingga dalam melakukan pembagian wilayah pun SUGI MANURU melakukan pengandaian dengan hakikat penciptaan manusia sebagaimana yang dikandung oleh nilai-nilai islam.
 Disebutkan pula bahwa SUGI MANURU  yang menetapkan pembagian golongan di Kerajaan Muna. Adapun golongan itu adalah Kaoumu, Walaka, Olindo Fitu Bangkaono,dan Wawono Liwu. Yang secara hakikat dapat pula dikatakan bahwa susunan golongan-golongan itu di ibaratkan sebagaai struktur raga manusia yaitu :
 O kaomu,  di ibaratkan kepala manusia huruf nya mim awal.
  O walaka di ibaratkan badan manusia huruf nya Ha.
 O lindo Fitu bengkauno di ibaratkan perut hurufnya mim akhir.
  Owawono Liwu di ibaratkan kaki hurupnya Dal.
Inilah yang dikatakan pengendali dan yang dikendali. Kaomu dan Walaka adalah mitra kerja yang mengendali, Olindo Fitu Bangkauno serta Wawono Liwu adalah sumber daya manusia dan sumber daya alam, bakalan yang akan di atur.
Nilai-nilai yang diajarkan SUGI MANURU Inilah yang dikatakan sebagai rahasia wawasan negeri dalam pengertian  SOWITE ( untuk tanah air ). SOWITE ini kemudian diuraikan  agar mudah dalam implementasinya sebagai landasan idiologi  yang dikenal dengan falsafah hidup masyarakat Muna, yaitu “ Koemo Bhada Sumanomo Liwu, Koemo Liwu Sumanomo Sara, Koemo Sara Semanomo Oadhati, Koemo Oadhati Sumanomo Agama”, artinya ; Rela mengorbankan Jiwa dan raga demi bangsa dan negara, Tegakkan Hukum walaupun bumi runtuh, kalaupun hukum tidak berjalan, adat istiadat tetap harus dipertahankan, Kalaupun adat istidat sudah tidak memberi arah,  nilai-nilai,  agama yang akan dijadikan pegangan.
Penetapan empat landasan idiologi sebagai falsafah hidup Masyarakat Muna tersebut sangat jelas dipengaruhi oleh ajaran Islam. Hal ini ditandai dengan penghargaan agama sebagai ajaran yang harus dipegang dan menjadi petunjuk apabila ajaran-ajaran lainnya tidak berjalan dengan baik.
J. Couvreur (1935;5) mengatakan bahwa Sugimanuru mempunyai empat belas orang putra terdiri atas sebelas orang laki-laki dan tiga orang perempuan. Keempat belas  orang dimaksud adalah (1) Kakodo, (2) Manguntara, (3) La Kakolo, (4) La Pana, (5) Tendridatu, (6) Kalipatolo, (7) Wa Sidakari, (8) La Kilaponto, (9) La Posasu, (10) Rampeisomba, (11) Kiraimaguna, (12) Patolakamba, (13) Wa Golu, (14) Wa Ode ogo.
Oleh karena itu dalam Penentuan tingkatan golongan masyarakat pada masa pemerintahan SUGI MANURU di klasifikasikan berdasarkan keturunannya. Pengklasifikasian berdasarkan keturunan  ini dimaksudkan agar kelak tidak terjadi konflik perebutan kekuasaan diantara keturunannnya.  Struktur tingkatan golongan masyarakat  itu adalah :
1. Golongan Kaomu.
Golongan ini bersumber dari anak laki-laki Sugi Manuru yang memiliki kemampuan dan keahlian dibidang pemerintahan. Kaomu adalah goloangan teratas yang berhak menduduki jabatan Raja Muna dan Jabatan-Jabatan eksekutif lainnya yang sesui dengan hukum adat ( Kuasa eksekutif ).
2. Golongan Walaka.
Golongan ini bersumber dari anak Perempuan Sugi Manuru yaitu Wa ode pago yang kawin dengan La Pokainse anak Mieno Wamelai. Walaka adalah golongan yang berhak dan memiliki kuasa dalam mengangkat Raja Muna, memegang kekuasaan menetapkan  hukum hukum adaat dan mengawasi pelaksanaannya ( kuasa legislatif dan Yudikatif ).
3. Goloangan Wawono Liwu.
Goloangan ini terbagi atas tiga tingkatan yaitu :
a. Golongan Wawono Liwu Ghoera atau Fitu Bengkauno, Golongan  ini bermula dari 7 orang anak laki-laki Sugi Manuru dari istri selir. Golongan ini berhak untuk menjadi kepalah pemerintahan Ghoera (kuasa Pemerintah daerah) yaitu;
  1. Ghoerano Tongkuno
  2. Ghoerano Kabawo
  3. Ghoerano Lawa
  4. Ghoerano Katobu
b.Golongan Wawono Ghaoera Papara
Golongan ini berarasal dariturunan dari ke 4 Kamokulano dahulu yaitu; 
1. Kamokulano Tongkuno.
2. Kamokulano Barangka,
3. Kamokulano Lindo,
4. Kamokulano Wapepi.
c. Golongan Poino Kontu Lakono Sau.
Golongan ini adalah golongan Wawono Liwu yang terendah, ibarat sebuah batu dan sepotong kayu didalam masyarakat Kerajaan Muna. Mereka ini turunan dari ke empat Mieno yaitu;
1. Mieno Kaura,
2. Mieno Kasintala,
3. Meino Lembo,dan
4.  Meino Ndoke.
Sugi Manuru juga menetapkan mekanisme pengangkatan pemimpin, mulai dari tingkat Raja sampai pada tingkat pemerintahan terendah yaitu Mieno. Menurut ajaran Sugi manuru Penentuan siapa yang akan  menjadi pemimpin dimasing-masing tingkatan dan golongan ditentukan oleh Sara berdasarkan kapasitas masing-massing indifidu. Pengangkatannya berdasarkan hasil rapat dewan adat yang anggotanya berasal dari golongan Walaka.
Selain Menyusun tingkatan golongan masyarakat, SUGI MANURU juga menetapkan  struktur pemerintahan kerajaan. Struktur pemerintahan kerajaan pada jaman SUGI MANURU adalah ;
  1. 1.  Raja (Eksekutif), dari Golongan Kaomu
  2. 2.  Bonto ( Legislatif ), dari golongan walaka
3. Mintarano Bhitara ( Yudikatif ), dari golongan Walaka    ( No 1- 3 adalah pemerintah pusat )
4. Mowano Ghoera  ———— pemerintahan setingkat dibawah pemerintah pusat
5. Kamokula & Mieno ————- setingkat dibawah Ghoera
Semua perangkat kerajaan termasuk raja disebut sebagai Sarano Wuna.Mereka itu harus dapat merepresentasikan muna secara keseluruhan.DewanSara dipimpin oleh Bonto dari golongan Kaomu. Sidang – sidang dewan Sara bertugas mengangkat dan memberhentikan Raja   serta menetapkan arah haluan kebijakan Kerajaan.
3. Raja Muna VII – La Kilaponto gelar mepokonduaghono Ghoera ( 1538-1541). 
La kilaponto Raja Muna VII 1538- 1541 M ) adalah putera Raja Muna VI Sugi Manurudari isterinya Wa Tubapala anak dari Wa Randea puteri Mokole Konawe ( Mahmud Hamundu- Makala pada Simosium Pernaskahan Nusantara X, 2003 ). La Kilaponto memiliki 13 orang saudara ( J.Courveur 1935;5), namun dari satu ibu  dia hanya memiliki dua saudara yaitu La Posasu/ Kobangkuduno dan Wa Karamaguna/ Wa Ode Pogo ( silsilah Raja-Raja Muna & Buton, Dok. KTVL ).
La Kilaponto memilki nama kecil La Kila, kemudian oleh masyarakat Muna di tambahkan dengan Ponto ( Sejenis bambu yang keras ) sehingga menjadi dikenal namanya La Kilaponto.  Pemberian nama itu karena sesuai dengan sikap dan pembawaanya sebagi pemuda yang cerdas, tampan, kuat dan  keras sikapnya ( Said D, 2007 ; 143 ). La Ode Rifai Pedansa, seorang tokoh masyarakat Muna berpendapat lain mengenai penambahan ‘ponto’pada nama La Kilaponto. Menurutnya penambahan kata ‘ponto’ karena sebeum menjadi Raja Muna, La Kilaponto ditugaskan memimpin wilayah yang bernama ‘Ponto” yaitu wilayah yang saat ini dikenal dengan Gu, La kudo dan Mawasangka sebagai Raja Muda (Wawancara; Mei 2011).
Ada beberapa versi yang mengisahkan tentang tahun La kilaponto menjadi Raja di Kerajaan Muna. La Kimi Batoa dalam Bukunya Sejarah Kerajaan Daerah Muna, mengatakan bahwa La Kilaponto menjadi Raja Muna selama 3 tahun yaitu antara tahun 1538-1541 (La Kimi Batoa, 1995). Masa ini bersamaan dengan  saat  dia menjadi raja di Kerajaan Buton sebelum kerajan itu menjadi Kesultanan ( 1541 ) dan La Kilaponto dinobatkan sebagai Sultan Pertama dengan gelar Sultan Qaimuddin Khalifatul Khamis.
Sedangkan Said D mengatakan bahwa La kiaponto menjadi raja di Kearajaan Muna pada tahun 1530 – 1538 ( Said D, 2007;144 ).  Perkiraan tahun berkuasanya La Kilaponto sebagai mana yang di katakan oleh Said D tersebut, boleh jadi merupakan masa ketika dia menjadi Raja Muda di wilayah ‘Ponto’ sebgai mana dikatakan La Ode rifai Pendansa. Asumsi ini diperkuat dengan hasil penelitian  H.E. Tamburaka yang dumuat dalam buku ‘ Sejarah Daerah Sulawesi Tenggara’ bahwa La Kilaponto atau Haluoleo menjadi Raja Muna Sementara pada tahun 1530 – 1538.
A. Manusia Fenomenal Yang Kharismatik
La Kilaponto  adalah manusia yang fenomenal yang kharismatik, ahlian   dalam strategi perang,  piawai dalam berdiplomasi serta  pakar dalam ilmu ketata negaraan..  Hal itu dapat dilihat dimana dia pernah memimpin lima kerajaan besar dalam waktu bersamaan, sebagai mana  dijelaskan dalam dokumen koleksi Belanda “ Adapun tatkala Murhum menjadi raja di Negeri Buton ini, tatkala dikaruniai Murhum, maka menjadilah  sekalian Negeri,  karena ia raja La Kilaponto membawahi negeri yang besar yaitu Buton dan Wuna, jadi ikut sekalian negeri seperti kaledupa dialihkan, Mekonggo dialihkan, dan kabaena di Alihkan. Maka sekalian negeri pun dialihkan oleh Murhum” ( Koleksi Belanda, hal 1 ). Karena itulah LA KILAPONTO dikalangan masyarakat muna di beri gelar ‘ mepokonduaghono Ghoera’  artinya orang yang menggabungkan Negeri/Kampung
LA KILAPONTO menjadi Raja pada kerajaan – kerajaan  itu bukan karena invasi, tetapi karena kharisma  beliau atau penghargaan karena berhasil melakukan sesuatu yang besar dinegeri tersebut. Hal ini  dapat dilihat setelah  beliau  menjadi Penguasa di negeri itu  dia tidak berusaha untuk menjadikan negeri itu sebagai koloni atau bagian  dari Kerajaan Muna, tetapi membiarkan tetap  merdeka dan Berdaulat. Padahal bila mau LA KILAPONTO dapat saja menggabung kerajaan-kerajaan tersebut dibawah kerajaan Muna karena sebagai raja dia punya kekuasaan yang besar sehingga dapat saja melakukan hal itu.
Dari semua kerajaan yang pernah dipimpinnya, hanyalah  di kerjaan Buton LA KILAPONTO memerintah cukup lama yaitu 46 tahun ( 1538 – 1584 M ). Di kerajaan Muna LA KILAPONTO menjadi raja kurang lebih 3 tahun ( 1538 – 1541 M ), setelah itu dilanjutkan oleh adiknya LA POSASU sebagai Raja Muna VIII.  Sedangkan di kerajaan-kerajaan lainnya tidak ada catatan sejarah yang mengungkapkan berapa lama LA KILAPONTO  menjadi Raja di kerajaan tersebut serta bagaiman proses penyerahan kekuasaan pasca LA KILAPONTO.
B. Pakar Tata Negara
Sejak Kecil Raja Sugi Manuru telah melihat potensi yang dimiliki oleh  LA KILAPONTO. Olehnya  dia diberi pendidikan khusus termasuk mempelajari islam yang dibawah  oleh Syek Abdul Wahid pada awal pemerintahan Sugi Manuru (1527). Namun menurut J. Courveur La Kolaponto telah menerima islam sejak tahun 1519 M atau 940 H…
Kepakaran di bidang ketatanegaraan. Hal ini dapat dilihat ketika menjadi Raja/Sultan Buton, La Kilaponto meletakan sendi-sendi dasar kehidupan berbangsa dan bernegara di kerajaan/kesultanan tersebut. Sendi-sendi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang ditanamkan La Kilaponto di Kerajaan/Kesultanan Buton merupakan nilai-nilai dasar yang diajarkan oleh ayahandanya Sugi manuru Raja Muna VI.. MANURU yaitu ;
Þ Pobini-biniti kuli, ( saling tengang rasa )
Þ Poangka-angka tau, ( Saling harga-menghargai )
Þ Poma-masigho, ( Saling sayang- menyayangi )
Þ Poadha-adhati. (Saling menghormati )
LA KILAPONTO juga menyebar luaskan konstitusi Negara kerajaan Muna pada kerjaan-kerajaan yang dipimpinnya Yaitu :
¨ Hansuru –hansuru  badha Sumano kono hansuru  liwu       (  Biarlah badan binasa asal Negara tetap berdiri ).
¨ Hansuru-hansuru Liwu Sumano kono hansuru Ahdati          ( kalaupun Negara harus bubar adat tetap harus dipertahankan ).
¨ Hansuru-hansuru Adhati sumano Tangka Agama ( Kalupun adat tidak bisa lagi dipertahankan, agama harus tetap ditegakkan ).
Falsafah dasar dan Konstitusi kerajaan Muna yang telah di ajarkan oleh Ayahandanya Raja Muna VI Sugi Manuru kemudian disebar luaskan  pada kerajaan-kerajaan yang pernah dipimpin oleh LA KILAPONTO. Tentu saja falsafa dasar dan konstitusi tersebut diadaptasi dengan nilai-nilai yang dianut oleh masyrakat setempat dalam hal ini termasuk nilai-nilai Islam sebelum dijadikan sebagai Konstitusi Kerajaan.
 Sikap toleransi terhadap masuknya nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat local dan nilai- nilai agama yang positif  merupakan strategi untuk menghindari konflik dan penolakan masyarakat terhadap ajaran itu. Karena jasanya tersebut, La Kilaponto dianugrahi gelar Timba-timbanga oleh rakyat Buton
Konsitusi pada Kerajaan / kesultanan Buton yang ditanmkan oleh La Kilaponto  mulai ditulis pada masa Sultan Buton IV DAYANU IKSANUDDIN(1597- 1631 M). Sebagai penganut islam yang taat Dayanu Ikhsanuddin juga  memasukan nilai-nilai Islam dalam konstitusi tersebut. Konstitusi Kesultanan Buton yang ditulis oleh Dayanu Iksanuddin tersebut dikenal dengan Martabat Tujuh.
Karena Martabat Tujuh memuat tetntang tatan dasar kenegaraan Kesultanan Buton, oleh para pakar martabat tujuh kemudian menganggapnya sebagai Konstitusi Kesultanan Buton. Konstotusi yang bernama martabat tujuh tersebut diproklamirkan pada masa Kesultanan Buton masih di bawah pimpinan SULTAN DAYANU IKHSANUDDINDAYANU IKHSANUDDIN adalah  cucu  LA KILAPONTO dari putrinya PARAMASUNI  yang bersuamikan LA SIRIDATU  putera Raja Batauga. 
Menurut A.E. saidi  dalam makalahnya pada  Simposium Internasionel Pernaskahan Nusantara IX di  Baruga Keraton Buton 5 – 8 Agustus 2005,   Martabat Tujuh di proklamirkan  oleh Sapati LA SINGGA pada tahun 1610 M di depan Masjid Agung Keraton. Inti dari Konstitusi Martabat Tujuh  yaitu ; 1) Pomae-maeyaka; 2) Popiara-piara’ 3) Po maa-maasiaka. 4) Poangka-angkataka. Keempat nilai dasar dari Konstitusi martabat Tujuh memiliki makna yang sama dengan apa yang   diajarkan oleh Raja Muna VI SUGI MANURU  pada tahun 1438 M. Demikian pula tatanan pemerintahan yang dianut kesultanan Buton seperti yang termuat dalam Martabat Tujuh juga merupakan sisten dan tatanan pemerintahan yang diterapkan oleh Kerajaan Muna sejak jaman SUGI MANURU Raja Muna VI ( Baca; Sugi Manuru ) .
  1. C.   Diplomat Ulung
Selain ahli di bidang Tata Negara, LAKILAPONTO juga piawai dalam bidang  diplomasi  . Kemampuan diplomasi  LA KILAPONTO dibuktikan dengan dapat mendamaikan konflik dua  kerajaan besar di jazirah Pulau Sulawesi bagian Tenggara yaitu  kerajaan Konawe dan Mekongga. Konflik kedua kerajaan tersebut telah berlangsung lama dan telah banyak menelan korban nyawa dan harta.
Oleh LA KILAPONTO konflik tersebut diselesaikan hanya dalam waktu delapan hari, sehingga di kedua kerajaan tersebut LA KILAPONTO di beri gelar “HALUOLEO”  yang artinya delapan hari. Karena sukses mendamaikan konflik tersebut, LA KILAPONTO dinikahkan dengan Putri Raja Konawe yang bernamaANAWAY  ANGGUHAIRAH serta dinobatkan menjadi Mokole Konawe.
Kemampuan diplomatik  LA KILAPONTO  juga ditunjukan saat ditugaskan oleh ayahandanya Raja Sugi Manuru untuk menjalin kerja sama dengan kerajaan-kerajaan tetangga seperti Todore, Ternate, Banggai dan Luwu. ( Lakimi; Sejarah Muna, Jaya Press Raha).
 Misi diplomatik yang dilakukan LA KILAPONTO itu sangat sukses, sebab beliau dapat meyakinkan kerajaan-kerajaan yang dikunjunginya untuk menjalin kerja sama dengan kerajaan Muna. Bahkan Kerajaan Ternate berhasi diyakinkan untuk bersekutu melawan pengaruh Kolonial Belanda. Bukti lain keberhasilan misi diplomatik La Kilaponto tersebut adalah sejak saat itu sudah tidak ada lagi gangguan keamanan dan kedaulatan Kerajaan Muna yang datang dari kerajaan-kerajaan tersebut.
Sebagai mana kerajaan-kerajaan kuno lainnya, LA KILAPONTO menjalankan strategi diplomasinya melalui perkawinan. Dalam beberapa sejarah ditulis selama hidupnya La Kilaponto melakukan perkawinan sebanyak 5 kali, berturut-turut putri yang dikawininya adalah :
  1. WA TAMOIDONGI ( Putri Raja Buton V  LA MULAE)
  2. WA ANAWAY  ANGGUHAIRAH ( Putri Mokole Konawe )
  3. Putri raja Jampea
  4. Putri Raja selayar OPU MANJAWARI
  5. WA SAMEKA ( Putri Sangia YI TETE )
Dari masing-masing perkawinannya tersebut, LA KILAPONTO/SULTAN KAIMUDDIN KHALIFATUL KHAMIS/SULTAN MURHUM memperoleh putra dan putri yaitu :
1. Perkawinan dengan WA TAMPOIDONGI tidak memperoleh anak
2. perkawinan dengan ANAWAI  ANGGUHAIRAH memperoleh 3 orang puteri yaitu WA ODE POASIA, WA ODE LEPO-LEPO dan WA ODE KONAWE.
3. perkawinan dengan putri raja Jampae memperoleh 1 orang putera yang bernama LA TUMPAMASI (Sangia Boleko). La Tumparasi kemudin menjadi Sultan Buton II menggantikan ayahandanya dengan gelar Sultan Qaimuddin II.
4. Perkawinan dengan putri raja Selayar memperoleh 1 orang putera yang bernama LA SANGAJI (Sangia Makengkuna). La Sagaji kemudian menjadi Sultan III mengantikan kakaknya lain ibu La Tumpamasi dengan gelar Sultan Qaimuddin III
5.Perkawinannya dengan Wa Sameka memperoleh 4 orang puteri yaitu Paramasuni (istri LA SIRIDATU putra Raja Batauga), Wa sugirampu (istri LA GALUNGA cucu Raja Buton V La Mulae), WABUNGANILA (istri LA KABAURAputra raja Batauga) dan WABETA (istri LA SONGO raja Kambe-kambero).Sultan Buton IV Dayanu Iksanuddin adalah cucu La Kilaponto dari putrinya Paramasuni buah  perkawinannya dengan La Siridatu Putra Raja Batauga.
D. AHLI STRATEGI PERANG
Kemampuan dalam strategi perang La kilaponto  dibuktikan saat menumpas pemberontak LA BOLONTIO yang berasal dari TobeloLABOLONTIO yang terkenal sakti dan sangat kejam dalam melakukan aksinya sehingga  Kerajaan Buton tidak mampu lagi menghadapinya. Raja Buton saat itu LA MULAE dan segenap rakyatnya telah putus asa  sehingga memaksa dia membuat sayembara. Isi dari sayembara tersebut adalah “ barang siapa yang dapat menumpas pemberontakan Labolontio akan dikawinkan dengan salah satu putri Raja “  yang bernama WA TAMPOIDONGI.  WA TAMPOIDONGI terkenal sangat cantik dan menjadi rebutan petinggi-petinggi Kerajaan Buton dan kerajaan-kerajaan tetangga.
 Sayembara yang dibuat oleh Raja Buton LA MULAE tersebut  mengundang minat satria-satria  di kerajaan tetangga untuk ambil bagian. Mereka sangat tertarik untuk mempersunting putri Raja yang kecantikannya  sudah terkenal di mana-mana. Raja-raja pada kerajaan tetangga yang mengikuti sayembara tersebut adalah  Raja Selayar Ompu Manjawari dan Raja Jampea dan Raja Batauga La Maindo.
Sudah sekitar satu tahun sayembara dibuka, para peserta sayembara telah mengeluarkan segala kemampuannya,   namun tidak ada satupun dari satria-satria yang  ikut dalam kompetisi tersebut yang dapat menumpas Labolontio. Bahkan Labolontio dan pasukannya semakin merajalela dan telah menguasai beberapa wilayah Kerajaan Buton seperti Palabusa dan Barangka .
 Bukan saja itu bahkan Labolontio sudah mengancam kerajaan-kerajaan tetangga Buton  termasuk Kerajaan Muina. Terdengar kabar bahwa La Bolontio dalam waktu dekat akan menyerang mawasangka, salah satu wilayah yang dikenal dengaan ‘ Ponto ’ . ‘Ponto’ adalah wilayah  kekuasaan dan tanggung jawab La Kilaponto sebagai Raja Muda, sebelum menjadi Raja Muna.
Kabar semakin mengganasnya Labolontio dan pasukannya ikut meresahkanLA KILAPONTO yang baru saja dilantik menjadi Raja Muna VII. Olehnya itu LA KILAPONTO meminta saran dari Ayahandanya SUGI MANURU dalam menyikapi ancaman tersebut.
 Setelah mendengar masukan-masukan dari LA KILAPONTO dan beberapa petinggi kerajaan lainnya, SUGI MANURU Raja Muna VI yang juga ayaahannda dari LA KILAPONTO menyarankan pada   LA KILAPONTO untuk segera pergi ke Buton, menumpas LABOLONTIO sekaligus menyelamatkan Negeri Buton dari kehancuran. Jadi keikutsertaan LAKILAPONTO dalam menumpasLABOLONTIO bukan untuk mengikuti sayembara yang dibuka oleh Raja LA MULAE tetapi melakukan misi Kerajaan Muna untuk menyelamatkan Negeri Muna dari ancaman LABOLONTIO sekaligus menyelamatkan Negeri Buton.
Sesampainya di Buton dengan tanpa terlebih dahulu menghadap pada Raja  LA MULAE, LA KILAPONTO  langsung menyusuri pantai, mencari LABOLONTIO,  orang yang telah membuat Raja Buton dan segenap rakyatnya kalang kabut dan tidak berdaya.
Dalam pertarungan  di pasisir  Kerajaan Buton,  LABOLONTIO di buat  bertekuk lutut bahkan mati ditangan LA KILAPONTO.
Sebagai bukti telah membunuh LABOLONTIOLA KILAPONTO membawa kepala LA BOLONTIO di hadapan Raja Buton  LAMULAE.  MaksudLAKILAPONTO menghadap Raja LA MULAE adalah untuk menyampaikan bahwa Kerajaan Buton saat ini telah aman sebab pengacau keamanan telah berhasil di bunuhnya sekaligus  berpamitan untuk pulang ke Muna meneruskan tugasnya sebagai Raja Muna.  LA KILAPONTO tidak menuntut apapun dengan apa yang telah di lakukannya. LA KILAPONTO berpikir misinya menumpas LABOLONTIO selain membantu kerajaan Buton yang berada dalam ambang kehancuran, juga menjaga keamanan dan kedaulatan Kerajaan Muna dari gangguan pihak luar.
Lain dengan  Raja Buton LA MULAE dan segenap rakyatnya,  LA KILAPONTO  oleh mereka dianggap telah berjasa menyelamatkan Kerajaan Buton dari gangguan keamanan. Untuk itu  LABOLONTIO  berhak mendapatkan hadia seperti  isi dari sayembara  yang telah dibuat Raja LA MULAE. Sebagai Raja,LAMULAE  harus tetap konsisten menjalankan  apa yang telah diucapkan.  Untuk itu pernikahan antara LA KILAPONTO dan Putri Raja WA TAMPOIDONGItetap harus dilaksanakan.
 Dengan rasa berat dan penghargaan terhadap Raja Buton LAMULAE, akhirnyaLAKILAPONTO menerimah untuk dinikahkan dengan putri raja seperti isi sayembara yang di buat Raja LAMULAE. Namun demikian LA KILAPONTO tetap mengajukan syaraat bahwa setelah pernikahan dilaksanakan dia tetap kembali ke Kerajaan Muna untuk menjalankan tugasnya sebagai Raja Muna. Persyaratan itu diterimah dan pernikahan keduanya pun dilaksanakan. Setelah prosesi pernikahan dilaksanakan LA KILAPONTO langsung berpamitan untuk Kembali Ke Kerajaan Muna sedangkan isrinya tetap tinggal di Kerajaan Buton bersama kedua orang tuanya.
Belum cukup satu tahun menjalankan pemerintahanya sebagai Raja Muna setelah menumpas LABOLONTIO, Raja Buton V LA MULAE meninggal dunia. Karena raja LA MULAE tidak memiliki anak Laki-laki, maka petinggi-petinggi Kerajaan Buton bersepakat untuk mengangkat LA KILAPONTO sebagai Raja Buton VI menggantikan LA MULAE.
 Kesepakatan para petinggi Kerajaan Buton tersebut kemudian  di  sampaikan pada LA KILAPONTO dengan cara mengutus beberapa utusan untuk datang ke kerajaan Muna. Awalnya LA KILAPONTO merasa sangat berat  menerima kesepakatan yang telah dibuat oleh para petinggi Kerajaan Buton untuk menjadi Raja di kerajaan Buton, karena saat itu LA KILAPONTO sedang menjadi raja di kerajaan Muna dan Kerajaan Konawe serta baru saja memulai melakukan penataan system pemerintahan di kedua Kerajaan tersebut .
Namun atas saran Ayahandanya dan melalui pertimbangan yang matang, akhinya LA KILAPONTO mau menerima untuk menjadi Raja di Kerajaan Buton. Dengan diterimahnya menjadi Raja Buton,  maka secara otomatis pada saat itu LA KILAPONTO menjadi Raja di tiga kerajaan besar di Sulawesi Tenggara yaitu Kerajaan Buton, Kerajaan Muna dan Kerajaan Konawe, karena itulah oleh masyarakat Muna LA KILAPONTO mendapat gelar Omputo Mepokonduaghoono Ghoera ’ artinya orang yang  mengawinkan/menggabungkan Negeri/Kampung. 
Pada sebuah hikayat disebutkan, saat   LA KILAPONTO menjadi Raja di Kerajaan Muna, Buton dan Konawe,  kerajaan-kerajaan lainya  yaitu   Kerajaankaledupa, Kerajaan Kabaena dan Mekongga ikut menggabungkan diri dibawa kekuasaan LA KOLAPONTO, sebagai mana kutipan  berikut ‘Adapun tatkala Murhum menjadi raja di Negeri Buton ini, tatkala dikaruniai Murhum, maka menjadilah  sekalian Negeri,  karena ia raja La Kilaponto membawahi negeri yang besar yaitu Buton dan Wuna, jadi ikut sekalian negeri seperti kaledupa dialihkan, Mekongga  dialihkan, dan kabaena di Alihkan. Maka sekalian negeri pun dialihkan oleh Murhum” ( Koleksi Belanda, hal 1 ).
Tiga Tahun LAKILAPOTO menjadi raja Buton dan empat  kerajaan lainya di Sulawesi Tenggara, ajaran islam berkembang pesat di Kerajaan Buton. Pesatnya perkembangan agama islam  di kerajaan tersebut karena pada saat dilantik menjadi raja Buton, guru agama beliau seorang   Ulama dari Arab yang bernama SYEKH ABDUL WAHID turut di boyong ke Kerajaan Buton untuk menyebarkan agama islam di sana.

Setelah nilai-nilai islam telah tertanam dalam perilaku masyarakat botun,  maka pada tahun 1541 La Kilaponto memproklamirkan Kerajaan menjadi Kesultanan dan mengangkat dirinya sebagai Sultan I dengan gelar Sultan Qaimuddin Khalifatul Khamis.

Menyusul berubahnya Buton menjadi Kesultanan  (948 H/ 1541 M ),LAKILAPONTO kemudian menyerahkan jabatannya  pada kerajaan-kerajaan lainnya. Misalnya di Kerajaan Muna. Pada  Kerajaan Muna, LAKILAAPONTOmenyerahkan jabatannya  kepada adiknya LA POSASU untuk menjadi Raja Muna VIII. sedangkan dikerajaan-kerajaan lainnya tidak ada data yang pasti bagai mana proses penyerahannya.
 Namun  yang pasti  pada saat itu  juga Kerajaan Konawe dan kerajaan-kerajaan lainya  yang pernah di pimpin LAKILAPONTO telah memiliki raja sendiri-sendiri. Walaupun LAKILAPONTO pernah memimpin kerajaan-kerajaan tersebut, namun setelah  dia melepaskan jabatannya, LAKILAPONTO tetap mengakui kerajaan-kerajaan tersebut  sebagai Negara merdeka dan berdaulat.
Setelah LAKILAPONTO Menjadi SULTAN di Kesultanan Buton dan adiknya LA POSASU menjadi Raja Muna VIII,  kedua bela pihak mengadakan perjanjian. Isi dari perjanjian tersebut adalah wilayah kerajaan Muna bagian Selatan yang terdiri dari  Mawasangka dan GU diserahkan ke Buton. Sebagai gantinya, Wialayah pesisir  Barat Buton bagian Utara  yaitu Wakorumba dan Kulisusu diserahkan pada Muna. Termasuk dalam perjanjian itu  kesepakatan untuk saling membantu dan bekerja sama bila kedua kerajaan menghadapi situasi pelik, termasuk ancaman dan intervensi dari luar ( La kimi- Sejarah Muna, Jaya pres Raha).
Hubungan persaudaraan di antara kerajaan- kerjajaan yang pernah dipimpin oleh LA KILAPONTO khususnya Kerajaan Muna dan Kerajaan Buton terjalin hangat selama kurang lebih 3,5 abad. Namun Setelah Kesultanan Buton mulai bekerja sama  dengan Kolonial Belanda pada akhir masa pemerintahan Sultan Buton Dayanu Ikhsanuddin dan dalam kerangka politik pecah belah,  pemerintah kolonial Belanda,
Perseteruan antara maka hubungan antara Kerajaan Muna dan Buton mengalami keratakan. bersama Sultan Buton LAODE MUH. ASIKIN, secara sepihak membuat perjanjian yang disebut Korte Verklaring pada 2 Agustus 1918  (Jules Couvreur , Sejarah dan Kebudayaan Kerajaan Muna- Artha Wacana Press, Kupang, Nusa Tenggara Timur, 2001).
 Perjanjian sepihak tersebut tidak pernah diakui oleh Raja Muna. perlawanan terhadap perjanjian Korte Verklaring  ditunjukan oleh raja Muna  LA ODE DIKA gelar OMPUTO KOMASIGINO yang tidak mematuhi perjanjian tersebut termasuk  membayar pajak kepada Sultan Buton seperti yang diatur dalam perjanjian Korte Verklaring  . Raja Muna LA ODE DIKA juga tidak mau tunduk saat bertemu dengan Sultan Buton. Bahkan LA ODE DIKA mengangkat telunjuknya seakan mengancam saat bertemu dengan Sultan Buton di  Istana Sultan Buton. Sikap Raja LA ODE DIKA tersebut oleh Sultan Buton di adukan kepada penguasa colonial Belanda di Makassar. Akibatnya LA ODE DIKA di pecat kemudian penguasa colonial Belanda di makkasar menyatakan kerajaan Muna sepenuhhya dalam penawasan Belanda sampai pemerintah Kolonial Belanda menunjuk LA ODE PANDU sebagai Raja Muna pada tahun 1947.
LA KILAPONTO / SULTAN MURHUM / SULTAN KAIMUDDIN KHALIFATUL KHAMIS Putra Raja Muna SUGIMANURU Yang Agung mengakhiri masa pemerintahannya di  Kesultanan Buton karena wafat tahun 1584 setelah memerintah lebih kurang 46 tahun ( sebagai raja Buton VI selama 3 tahun dan sebagai Sultan I selama 43 tahun ),  dan menjadi Raja Muna selama tiga tahun( (1538- 1541 M ),. Setelah LA KILAPONTO / SULTAN MURHUMIN / SULTAN KAIMUDDIN KHALIFATUL KHAMIS meninggal dunia, Sara Kesultanan Buton memilih LA TUMPAMASI (Sangi Boleka) Putra La Kilaponto dari perkawinannya dengan Putri Raja JAMPEA ( Suku Bajo ? ) sebagai sultan Buton II dan dilantik pada tahun itu juga.

.
4. Raja Muna X -  Titakono ( 1600- 1625 )
 La Titakono adalah Raja Muna X sekaligus sebagai raja terakhir yang belum memeluk agama islam. Kendati demikian pada masa pemerintahan La Titakono penyebar Islam kedua yakni Firus Muammad masuk dimuna. Pada fase kedua masuknya penyebar agama islam di muna juga belum berjalan secara efisien. Agama islam pada masa itu berkembang sangat lamban. Hal ini berkaitan dengan Raja Muna belum memeluk agama islam. Sebagai seorang pemimpin yang menjadi panutan seluruh warga,  maka masuknya seorang raja pada suatu aliran atau agama tertentu sangat berperan terhadap penyebarluasan kepercarayaan atau agama tersebut.Hal ini juga terjadi di Kerajaan Muna.
Walaupun Raja Muna La Titakono belum memeluk islam. namun beliau sangaat toleran terhadap pemeluk islam yang saat itu masih sangat minoritas serta menghargai nilai-nilai islam.
Sebagai bukti penghormatan beliau pada islams yaitu pada  masa pemerintahannya masjid pertama dibangun di Muna ( 1614 ). Pembangunan masjid itu diikuti oleh pembagunan pusat pendidikan islam. Seiring dengan  itu ajaran islam sedikit demi sedikit mulai dipelajari masyarakat Muna. Seluruh proses pembangunan masjid dan islamic center tersebut difasilitasi oleh Raja La Titakono.
Bukti lain sikap toleransi raja La Titakono terhadap islam adalahdiberikan kebebasan pada  salah seorang putranya yaitu La Ode Sa’aduddin menjadi murid Firus Muhammad Penyebar islam kedua di Muna. Bahkan La Ode Sa’aduddin menjadi Raja Mua  pertama yang memeluk agama Islam.
Agama Islam mengalami kemajuan yang sangat pesat setelah Putra La Titakono yakni La Ode Sa’aduddin di nobatkan menjadi Raja Muna XI setelah La Titakono Mangkat.
Selain membangun masjid, Raja Titakono membentuk lembaga baru dalam sturktur pemerintahan kerajaan muna yaitu Bonto Bhalano.
 Bonto Bhalano adalah sebuah lembaga sejenis Majelis Permusyawaratan Rakyat yang bertugas memilih dan mengangkat Raja Muna Pada masa Pemerintahan Raja Muna IX TITAKONO struktur golongan masyarakat Muna juga ditambah dengan golongan wesimbali.
Golongan Wesimbali adalah goloangan yang  timbul karena perkawinan antara dua golongan yang sebenar nya dilarang dalam hukum adat.
 Pada zaman dahulu wanita Kaomu dan Walaka pantang menikah dengan goloangan Lakono sau poino kontu. Golongan Wesimbali ini  terbagi lagi menjadi dua yaitu ;
Þ Golongan Kaomu Wesimbali, yaitu turunan dari wanita kaumu dengan laki-laki wawono liwu. Derajat dari Kaomu Wasembali dijadikan setara dengan Golongan Walaka, tetapi tidak boleh menduduki jabatan seperti golongan Walaka.
Þ Golongan Walaka Wesimbali, yaitu keturunan dari wanita golongan walaka dengan laki-laki dari golongan Wawono Liwu. Walaka Wasembali di sejajarkan dengan derajatnya Anangkolaki (fitu bengkauno) tetapi jug tidak dapat mendudukuki jabatan seperi golongan Angkolaki.
Raja Muna Titakono juga mengadakan  perubahan pada  struktur pemerintahan. Dalam Rapat Agung Kerajaan di hadiri oleh Raja, 4 Mino, 4 kamokula diangkat Pejabat Bantobalono. Banto Balano yang pertama adalah La Marati, anak dari Wa Ode Pogo hasil perkawinanya dengan La Pokainse. Sebgai Bonto Balano.
  1. 1.  Raja  La Ode Sa’adudin ( 1625-1626 )
La Ode Sa’aduddin  adalah Raja Muna XI dan merupakan pertama yang memeluk islam sekaligus raja Muna pertama yang memakai penambahan La Ode pada awal namannya.
Penambahan La Ode ( bagi laki-laki ) dan Wa ode ( bagi perempuan)  pada awal nama seorang yang berdarah Kaomu (strata  sosial yang berhak menduduki jabatan Raja ) ditetapkan oleh La Titakono  Raja Muna X bersama La Marati ( cucu Sugi Manuru dari anaknya Wa Ode Pogo  buah pernikahannya dengan La Pokainse}.
Pemerintahan La Ode Saa’diddin sangat singkat yaitu hanya satu tahun. Walaupun demikian selama satu tahun masa pemerintahan, La Ode Saa’duddin berhasil melakukan hal besar taitu melakukan penataan dalam strktur pemerintahan dan menyebarluaskan ajaran islam dalam kalangan masyarakat Kerajaan Muna.
Setelah La Ode SaaduSddin naik tahta dia melakukan reformasi pemerintahan di kerajaan muna.  untuk mendukung pmerintahannya la Ode Sa’aaduddin membentuk dua jabatan baru dalam sistem pemerintahan Kerajaan Muna yaitu kapitalao dan Kapita. Kapitalao diberi tugas menjaga keamanan pantai Kerajaan muna dari serangan musuh termasuk bajak laut yang kembali marak disekitar perairan kerajaan muna. Karena Kerajaan muna dikeliligi oleh lautan dengan wilayah yang begitu luas maka diangkat dua orang Kapita Lao yaitu Kapitalao Matagholeo Timur )  dan Kapita Lao Kansoopa ( Barat ).
Untuk mengisi jabatan kapatalao dipilih dari kino. Namun demikian tidak semua Kino berhak untuk menjadi Kapitalao dan Kapita. Diantara 26 kino yang ada di kerajaan Muna hanya Kino Babato yang dapat menjadi Kapita atau Kapitalao, mereka itu adalah :
1.Babato Aluno yaitu :
  • Kino Tobea
  • Kino Labora
  • Kino Lakologau
  • Kino Mantobua
  • Kino Lagadi
  • Kino Watumela
  • Kino Lasehao
  • Kino Kasaka.
2. Kino Barata yaitu Kino-Kino yang bertugas menajaga pantai kerajaan, yang terdiri dari;
 Kino Wasolangka
 Kino Lohia
 Kino Lahontohe dan
 Kino Marobea.
Dengan demikian maka Dewan Kerajaan terdiri dari;

  1. Raja
  2. Bonto Balano
  3. Mintarano Bhitara
  4. Kapita Lau 2 orang
  5. Kapita 1 orang
  6. Koghoerano 4 orang
  7. Fatolindono 4 orang.
Walaupun Muna bukanlah kerajaan Islam, namun sejak masa pemerintahan La Ode Saadudin hukum islam berlaku dikerajaan Muna misalnya hukuman gantung bagi yang melanggar  norma adat dan hukuman cambuk bagi yang melanggar  norma susilah. Pelaksanaan hukuman islam terebut berlaku pada seluruh warga kerajaan dalam hal ini termasuk Raja. Sebagai bukti penerapan hukum islam tersebut dapat dilihat ketika mitarano bhitara ( kuasa yudikatif menjatuhkan hukuman gantung pada La Ode Umara Raja Muna Ke 20 karena dianggap telah melakukan pelanggaran terhadap norma adat.
Hukuman cambuk sampai mati seperti yang diajarkan dalam hukum Islam juga pernah dijatuhkan pada La Ode Sumaili Raja Muna ke 23 Yang dianggap telah melakukan pelanggaran norma susilah ketika menentang perkawinan Wa Ode Kadingke Dengan seorang saudagar dari bugis yang bernama Daeng Marewa. Penentangan terhadap perkawinan tersebut mendapat perlawanan dari    Wa Ode Kadingke sehingga terjadi perang saudara.
Setelah Wa Ode Kadingke memenangkan pertempuran kemudian mengangkat Puteranya La Ode Saete menjadi Raja. Sedangkan La Ode Sumaili dijatuhi hukuman ambuk Sampai mati.
Pada masa pemerintahanLa Ode Saa’duddin pula Belanda mulai mencoba menacapkan kekuasaan di Kerajaan Muna. Gelagat tidak baik belanda tersebut telah dibaca oleh Raja La Ode Saa’duddin, sehingga begitu Belanda mencoba menginervesi pemerintahaan, Raja La Ode Saa’duddin tidak menerimanya dan menyatakan perang terhadap Pemerintah Kolonial Belanda yang telah lama menjalin kerja sama dengan Kesultanan Buton.
2.Raja  La Ode Ngkadiri gelar Sangia Kaindea ( 1626-1667)-
  Raja Muna XII adalah La Ode Ngkadiri. Beliau adalah anak dari La Ode Saa’duddin raja Muna XI. La Ode Ngkadiri memeritah dikerajan  selama 21 tahun, dibagi dalam dua periode dan disela dengan pemerintaha permaisurinya Wa Ode Wakelu selama tiga tahun.
 Periode pemerintahan La Ode Ngkadiri ditandai dengan inseden penangkapan dirinya oleh Kolonial Belanda  dalam sebuah buah kapal yang bernama MV. De flamig pada tahun 1652 dan diasinkan keternate selama tiga tahun. Kapal itu cukup mega sebab diatasnya dilengapi dengan taman yang cukup luas. Karena penngkapan diatas kapal tersebut sehingga setelah beliau mangkat sarano wuna menganugrahkan  gelar Sangia Kaindea pada beliau.
 Peristiwa penangkapan diatas kapal MV. De Flaming tersebut terjadi karena Pemeritah Imperialis Belanda telah kewalahan mengahadapi Raja La de Ngkadiri dan pasukan yang terus mengobarkan semangat perang terhadap Belanda. Beberapa kali Belanda mengirimkan ekspedisi militer ke Kerajaan Muna namun selalu mengalami Kegagalan padahal dalam ekspedisi itu pasukan Belanda di bantu oleh Tentara Kesultaan Buton yang menjadi sekutu abadinya.
Sikap perlawanan Raja La Ode Ngkjadiri terhadap Kolonial Belanda ditunjukan sejak awal kedatangan Belanda pertama kali yang dipimpin oleh Piether Both di Kesultanan Buton pada tahun 1631. Ketika Rombongan Pieter Both tersebut akan masuk ke Kerajaan Muna mereka mendapat penolakan dari Raja La Ode Ngkadiri.
Penolakan Raja La Ode Ngkadiri terhadap Piether Both tersebut membuat pemerintah Kolonial Belanda berang, namun untuk  melawan sendiri pasukan Kerajaan Muna, Belanda mengalami kesulitan. Olehnya itu dijalankanlah Politik kotor Belanda untuk memecah bela antara dua kerajaan ( Kerajaan Muna dan Buton ) yang telah lama menjalin hunbungan yang sangat erat yang dikenal dengan politik Devide Et Impera.
Maka dicari-carilah benih-benih perpecahan antara dua kerajaan bersaudara tersebut. Kebetulan sebelum menjadi Raja Muna La Ode Ngkadiri pernah    gagal menikahi Wa Ode Sopo Puteri Sapati Baaluwu yang dipelihara oleh Spelma, padahal keduanya telah dijodohkan. La Ode Ngkadiri lebih memilih Wa Ode Wakelu puteri Sapati Kapolangku   untuk dijadikan  isteri   ( Drs. La Oba, 2005;43 ).
Kegagalan pernikahan antara Raja La Ode Ngkadiri dengan Wa Ode Sopo anak angkat Spelman dijadika alasan bagi Belanda untuk mengadu domba Kesultanan Buton agar mau memerangi Keraajaan Muna yang telah menjalin persaudaraan sejak ribuan tahun yang lalu.
Upaya adu domba Belanda tersebut berhasil, sebab Buton mau bersekutu dengan Belanda untuk menyerang Kerajaan Muna. sehingga terjadi perang yang cukup lama ( 1631 – 1652 ) antara Kerajaan Muna dengan Belanda yang dibantu oleh Kesultanan Buton.
Kendatipun Pasukan Belanda telah dibantu oleh Pasukan Kesultanan Buton namun mereka belum juga mampu mengalahkan Pasukan Kerajaan Muna yang dipimpin oleh Raja La Ode Ngkadiri. Olehnya itu Belanda menggunakan strategi lain yaitu dengan mengajak untuk melakukan perundingan. Padahal maksud dari perundingan tersebut adalah guna menangkap Raja La Ode Ngkadiri
Untuk memuluskan rencananya itu Belanda mengajak Sultan Ternate ( Sultan Mandayasa )  kerabat dekat lainnya Kerajaan Muna ikut dalam perundingan tersebut. Setelah semuanya telah diatur dengan rapi, maka disepakati tempat perundingan diatas sebuah kapal MV. De Flaming dan lokasi yang dipilih adalah ditengah lautan di selat Buton tepatnya di depan Lohia. 
 Pada saat perundingan tersebutlah kemudian La Ode Ngkadiri dinyatakan ditangkap Oleh Belanda dan diasingka ke Ternate selama tiga tahun. Bersamaan dengan penangkapan itu Belanda kemudian mengangkat La Ode Muh. Idrus sebagai Wali Raja di Kerajaan Muna dan dilantik diatas kapal itu juga.
Selain terjadi pergolakan   melwan Kolonial Belanda, pada masa pemerintahan La Ode Ngkadiri juga masuk misionaris Islam gelombang Ketiga yaitu Syarif Muhammad ( 1643 ). Syarif Muhammad melanjutkan misi penyebar islam terdahulu yaitu mengajarkan ajaran islam pada masyarakat Muna.
4.Raja Muna XIV La Ode Muh. Idris Gelar Sorano Kaindea. (1668-1671).
 La Ode Muh. Idris adalah raja yang dikirim oleh Belanda dari Kesultanan Buton setelah berhasil menjatuhkan La Ode Ngkadiri Raja Muna  XIV. La Ode Muh. Idrus dilantik menjadi raja Muna oleh Pemerintah Kolonial Belanda diatas kapal yang sama dimana Raja Muna XIII La Ode Ngkadiri di gulingkan. Olehnya itu oleh masyarakat Muna dia digelar dengan Sorano kaindea yang kira-kira diartikan sebagai orang yang berkoalisi dengan Kolonial.
Walaupun La Ode Muh. Idris telah dilantik oleh Pemerintah Kolonial Belanda sebagai Raja Muna, namun masyarakat Muna dan Sarano Wuna tidak mengakuinnya. Olehnya itu,Wa Ode Wakelu memproklamirkan dirinya sebagai raja Muna menggantikan Suaminya la Ode Ngkadiri. Sikap Wa Ode Wakelu dalam mengambil alih kekuasaan tersebut mendapat dukungan dari Sarano Wuna dan segenap Masyarakat Muna.
Kuatnya dukungan terhadap Wa Ode Wakelu tersebut membuat Pemerintah Konolonil Belanda dan Kesultanaan Buton tidak dapat membendungnnya sehingga selama tiga tahun masa pemerintahan La Ode Muh. Idris di Kerajaan Muna terjadi dualisme kepemimpinan yaitu La Ode Muh. Idris sebagai Utusan kolonial belanda dan Kesultanan Buton SERTA  Wa Ode Wakelu yang mendapat legitimasi dari Sarano Wuna dan Rakyat Muna. Bahkan pada tahun 1671 Sarano Wuna berhasil mengembalikan La Ode Ngkadiri sebagai raja Muna.


  1. 2.   Raja Wa Ode Wakelu ( Permaisuri raja -La Ode Ngkadiri )- ( 1667-1668).
Wa Ode Wakelu adalah permaisuri Raja muna XII La Ode Ngkadiri. Wa Ode Wakelu dilantik menjadi Raja Muna oleh Sarano Wuna karena terjadi kekosongan kekuasaan sebagai akibat dari diasingkannya suaminya yang saat itu sedang menjadi raja Muna La Ode Ngkadiri. Pelantikan Wa Ode Wa Kelu sebagai raja Muna selain mengisi kekosongan kekuasaan juga sebagai wujud perlawanan terhadap penguasa kolonial belanda karena bersamaan dengan di gulingkannya La Ode Ngkadiri diatas sebuah kapal, turut dilantik pula La Ode Muhammad Idris sebagai Raja Muna menggantikan La Ode Ngkadiri. yang telah dengan sewenang-wenang menjatuhkan Raja Muna yang sedang berkuasa. 
Perjuangan Wa Ode Wakelu yang didukung oleh sarano wuna dan segenap masyarakat Kerajaan Muna berhasil mengembalikan tahta Kerajaan muna pada yang berhak.hal  itu terjadi setelah tiga tahun menjadi raja Muna. Pemerintah kolonial Belanda yang didukung oleh Kesultanan Buton tidak mampu melawan gelombang perlawanan semesta rakyat muna dibawah kepemimpinan Wa Ode Wa Kelu, sehingga mereka menerima keputusan Sarano wuna untuk melantik kembali La ode Ngkadiri Sebagai raja muna.
 Penerimaan Tokoh dan masyarakat Muna terhadap kepemimpinan Wa Ode Wakelu sebagai raja Muna selain telah berhasil menunjukan sikap perlawanan terhadap penjajaahan belanda, juga merupakan wujud implementasi kesetaraan gender dalam sistem pemerintahan tradisional kerajaan Muna.

7. Raja Muna XVI  – La Ode Husaini  gelar Omputo Sangia ( 1716-1767 )
Pada  masa Pemerintahan Raja La Ode Huseni ( omputo sangia ) terjadi reformasi pada struktur pemerintahan dan struktur masyarakat. Reformasi yang dilakukan oleh La ode husaini tersebut bertuajuannya agar setiap golongan mempunyai andil dan fungsi dalam roda pemerinttahan. Selain itu dimaksudkan agar  roda pemerintahan dapat berjalan secara efektif. 
Perangkat Pejabat Kerajan Muna pada masa Raja La Ode Husaini adalah :
Dari golongan Kaomu berjumlah 20 orang yaitu;
 Raja Muna ( Kepla negera )
 Dua orang kapita lau ( Panglima Angkatan Laut )
  Bobata 8 orang (
  Barata 4 orang ( Kepala Daerah Otonom )
  Kino Agama 1 orang ( Kepala Urusan Agama/ menteri   Agama )
  Imamu 1 orang ( Imam )
  Hatibi 2 orang. ( Khatib )\
Sedangkan Pejabat Kerajaan dari golongan Walaka berjumlah 10 orang yaitu;
  Banto balano 1 orang ( Perdana Menteri )
  Mintarano bhitara 1 orang ( Mahkama Agung )
  Koghoerano 4 orang ( Kepala Pemerintahan Wilayah setingkat kecamatan )
  Mowano Lindo empat Orang ( Kepala Pemerintahan Kampung )
Perangkat Pejabat dalam Kerajaan khusunya golongan Lindo dan Fitu Bangkauno  berjumlah 7 orang.  Perangkat kerja Raja Muna khususnya Wawono Liwu berjumlah 3 orang.  Mitra kerja raja muna yang mengatur dan di atur disebut manusia awal.
Di masa pemerintahan Raja Muna La ode Huseni, dalam tatanan adat istiadat masyarakat Muna yang menyangkut soal akad nikah di tetapkan mahar menurut golongan masing-masing sebagai berikut;
Þ Untuk maharnya goloangan Kaomu 20 boka.
Þ Mahar golongan Walaka 10 boka 10 suku.
Þ Maharnya Lindo dan Fitu Bengkauno 7 boka 2 suku;
Þ Maharnya Wawono Liwu 3 boka 2 suku
Inilah hubungan antara golongan yang sukar dipisakan dan dihilangkan karena mempunyai hikmah yang mengadung makna menjurus pada poadha-adhati, poangka-angkatao, popia-piara dan pomoolo-moologho, yang menjadi landasan idiologi SOWITE.
 Karena jasanya dalam menyempurnakan struktur Kerajaan, masyarakat dan adat tersebut, dikalangan masyarakat Muna La Ode Husaini di kenal sebagai “Nembali  Kolakino Wuna Nofotoka Bhesarano. Poentauno Alamu Popano, Malaikati Popano,Bhe Badhano Manusia, Bhewite”. Yang artinya kira-kita La Ode Huseni dinobatkan menjadi Raja Muna lengkap dengan skturtur pemerintahan serta perangkat-perangkat jabatan yang semua bernuansa religius atau ke agamaan. Yakni agama Islam.
Pada tahun 1910 pemerintah Kolonial Belanda berhasil menguasai Kerajaan Muna. Akibatnya tatanan kehidupan social ekonomi                                kemasyarakatan Muna mengalami kesenjangan.  Namun demikian                            Semangat  “ Koemo Bhada Sumamo Liwu, Koemo Liwu Sumamo Sara, Koemo Sara Semanumo Adhati, Koemo Adhati Sumanomo Agama” terus berkobar dalam jiwa setiap  masyarakat Muna.  Hal ini dapat dilihat dari terus dikobarkannya semangat perlawanan   oleh seluruh masyarakat sampai Indonesia merdeka.
Bukti lain dari  besarnya api semangat yang dimiliki masyarakat Muna adalah dimana hingga saat ini tatanan adat istiadat menurut golongan masing-masing masih tetap terpelihara di Masyarakat Muna walaupun sebahagian masyarakatnya tergolong modern dan berpendidikan tinggi. Bahkan walaupun mereka menjadi pejabat tinggi di pemerintahan tetapi semangat memelihara tatanan adat istiadat dalam jiwa mereka tidak lekang oleh panas, tak lapuk oleh hujan.

11.Raja Muna XX – La Ode Umara I gelar Omputo ne Gege ( 1767 – 17 80 ),
La Ode Umara I , Raja Muna XX adalah raja yang dihukum gantung oleh sarano Wuna karena telah melakukan sebuah kesalahan yang besar. Keputusan untuk menjatuhkan hukuman gantung tersebut merupakan vonis  peradilan yang dinamakan mintarano bhitara ( yang memangku kekuasaan peradilan- MA? ).
Tidak diceritakan apa yang menjadi kesalahan Raja sehingga mendapatkan vonis tersebut. Hal ini berkaitan dengan adab masyarakat Muna yang tabuh untuk menceritakan aib saudaranya apa lagi itu seorang raja. Sidang majelis yang menyidangkan Raja La Ode Umara berlangsung tertutup dan semua orang yang terlibat dalam persidangan tersebut disumpah untuk tidak menyebarkan apa yang dilihat dan didengar dalam persidangan. Diperkirakan kesalahan yang dilakukan raja La Ode Umara yang menyebabkan dia mendapat hukuman gantung tersebut adalah menyangkut kesusilaan. 

14. Raja Muna XXIII -  La Ode Sumaili Gelar Omputo ne Sombo ( 1800 – 1816 ).
 Pada masa pemerintahan La Ode Sumaili terjadi pemberotakan yang dilakukan oleh Wa Ode Kadingke Cucu dari Sangia La Tugho. Pemberotakan itu dipicu oleh perlawanan terhadap sistem adat dalam hal kawin-mawin.
 Wa Ode Kadingke menolak denda adat yang begitu besar yang dibebankan pada suaminya Daeng Marewa dari Suku Bugis. Menurut adat saat itu, apabila ada perempuan keturunan yang berdara Kaomu ( Keturunan Raja ) akan menikah dengan orang yang bukan suku Wuna maka laki-laki tersebut akan dikenakan denda adat berupa membayar mahar sebesar 400 Boka.
Menurut pandangan Wa Ode Kadingke yang berkeyakinan keislamannya cukup tinggi denda tersebut bertentangan dengan hukum islam sebab menurut hukum islam mengenai besaran mahar itu ditentukan oleh wanita yang akan menikah dan tidak membebani pihak laki-laki.
Pemberontakan itu semakin meluas, karena Waode Kadingke sangat mahir dalam strategi perang.  La Ode Sumaili tidak mampu meredam pemberontakan tersebut,bahkan akibat  pemberontakan itu Wa Ode Kadingke bersama suaminya Daeng Marewa mendirikan  Kesultanan Tiworo  di bagian barat Pulau Muna.
 Ketidak mampuan La Ode  Sumaili menumpas pemberotakan tersebut oleh sarano wuna dianggap sebagai suatu kesalahan besar yang dilakukan oleh Raja La Ode Sumaili, olehnya itu La Ode Sumaili harus mendapat hukuman yang setimpal. Dalam sebuah Rapat dewan sara diputuskan La Ode Sumaili untuk dihukum rajam samapi mati. Itulah sebabnya La Ode Sumaili digelarOmputo nesombo artinya Raja yang dihukum gantung.
15. Raja Muna XXIV -  LA Ode Saete gelar Sorano Masigi  ( 1816-1830 ).
La Ode Saete adalah Putera dari  Wa Ode Kadingke dengan Daeng Marewa panglima perang yang memimpin pemberontakan pada masa pemerintahan La Ode Sumaili. Setelah Waode Kadingke berhasil mengalahkan La Ode Sumaili, maka Sarano Wuna mengangkat  La Ode Sumaili Puteranya sebagai Raja Muna XXIV menggantikan La Ode Sumaili yang telah dikalahkannya.
Pada waktu yang bersamaan, Kolonial belanda menunjuk la Ode Wita dari Kesultanan Buton Sebagai Raja Muna sehingga pada waktu itu terjadi dualisme kekuasaan di Muna. Alasan  Penunjukan La Ode Wita sebagai Raja Muna oleh Koalisi Buton – Belanda tersebut karena Wa Ode Kadingke dianggap telah melanggar kesepakatan yang telah dibuat antara  pihak Wa Ode Kadinge dengan Koalisi Buton – Belanda pada saat Wa Ode Kadingke meminta bantuan Belanda dan Buton   untuk melawan Raja La Ode Sumaili.
Namun  Sarano Wuna berpendapat lain, menurut Sarano Wuna kesepakatan yang telah dibuat oleh para pihak tersebut tidak dapat dikatakan sebagai kesepakatan antara Pemerintahan karena selain waktu itu Wa Ode Kadingke bukan seorang raja juga kesepakatan tersebut tidak mendapat persetujuan Sarano Wuna. Untuk itu Sarano Wuna berkesimpulan sendiri yaitu dapat saja mengesampingkan kesepakatan itu dan berhak mengangkat Raja berdaarkan hasil permusyawaratan Sarano Wuna.
Kendati Sarano Wuna tidak mengakui penunjukan La Ode Wita sebagai Raja Muna, Namun Kesultanan Buton tetap memaksakan keinginannya itu. Dibawah pengawalan tentara Kolonial Belanda dan Kesultanan Buton, La Ode Wita diantar ke Wuna untuk menjalankan kekuasaannya sebagai Wali Raja.
Intervensi. Kesultanan Buton tersebut tentu saja mendapat penolakan dari Rakyat Kerajaan Muna dan Sarano Wuna Akibatnya terjadi beberapa kali perang bersenjata antara kedua Kerajaan.Selama masa pemerintahan LA Ode Saete tercatat lebih dari lima kali terjadi perang terbuka antara Kerajaan Muna dengan Kolaisi Buton-Belanda.
Karenanya sejak awal pemerintahan La Ode Saete,  Belanda dan sekutunya Buton memerangi Kerajaan Muna sebagai akibat dari penolakan Sarano Wuna dan Rakyat Muna terhadap pengangkatan La Ode Wita sebagai Raja Muna yang di tunjuk oleh Belada, maka selama masa pemerintahannya tidak ada perubahan sigifikan yang dilakukannya.
Menghadapi dua kekuatan besar tersebut,  La Ode Saete tidak gentar. Dia terus menggalang kekuatan serta menyusun strategi dalam menghadapi perang tersebut dengan  menyeruhkan perang semesta.
 Strategi yang pertama dipilih oleh La Ode Saete untuk menghadapi perang tersebut adalah  meindahkan pusat pemerintahan dekat dengan masjid Muna di Kota Lama Muna. Setelah itu Raja La Ode Saete juga menyususn strategi perang dalam  melakukan konfrontasi dengan pasukan Koalisi Buton – Belanda. Strategi yang dilakukan oleh La Ode Saete tersebut ternyata sangat jitu, sehingga Belanda tidak dapat menguasai Kerajaan Muna.
 Karena La Ode Saete memindahkan Pusat Pemerintahan Kerajaan Muna dekat dengan Masjid, maka setelah mangkat La Ode Saete dianugrahi gelar  ‘ Omputo Sorano Masigi’ oleh Sarano Wuna yang artinya  raja yang mendekati masjid.
Dalam perang antara kerajaan Muna yang dipimpin oleh Raja La Ode Saete dengan pasukan Koalisi Buton – Belanda, beberapa kali Pasukan Koalisi dapat dihancurkan oleh pasukan kerajaan Muna.
Tak mampu menundukan Kerajaan Muna, akhirnya La Ode Wita Raja yang dilantik oleh Belanda akhirnya ditarik kembali Ke Kesultanan Buton.   Sampai akhir masa pemerintahan La Ode Saete( 1830 ) perang antara Kerajaan Muna dengan pasukan koalisi Buton-Belanda terus berlanjut. La Ode Saete mengakhiri masa pemerintahan karena mangkat.
Raja Muna XXV -  La Ode Bulae gelar Sangia Laghada (1830-1864 )
La Ode Bulae adalah Putera Raja Muna XXV La Ode Saete. Pada saat diangkat menjadi Raja Muna, La Ode Bulae baru berusia 12 tahun. Pengangkatan la ode Bulae sebagai Raja Muna berkenaan dengan mangkatnya ayahanda beliau La Ode Saete. Karena pada saat mangkat Raja Muna XXV La Ode saete hanya memiliki satu anak laki-laki yang baru berusia 12 tahun yaitu laode bulae, maka Saraano Wuna bersepakat mengangkatnya sebagai Raja Muna XXVI penggantikan ayahandanya.
Pengangkatan La Ode Bulae yang baru berusia 12 tahu tesrebut menjadi dilema karena pada saat  penobatannya sebagai Raja La Ode Bulae  masih terlalu muda dan  dianggap belum cakap mengendalikan pemerintahan. Namun pada saat yang bersamaan Kerajaan Muna membutuhkan seorang Pemimpin karena pada saat itu Muna sedang berkonfrontasi dengan Belanda serta sekutunya Buton. Sedangkan untuk melakukan prosedur pengangkatan raja seperti yang telah diatur yaitu melalui pemilihan yang dilakukan oleh sarano sangat tidak mungkin karena pasukan koalisi Buton –Benlanda terus mengganggu.
Dalam situasi yang  pelik tersebutlah, maka SaranoWuna mengambil keputusan cepat dengan mengangkat La Ode Bulae Putera Raja La Ode Saete sebagai Raja Muna XXV.  Namu karena Raja La Ode Bulae masih sangat belia dan diangap belm cakap menjalankan pemerintahan, maka Sarano Wuna nmenunjuk La Aka ( Bonto balano ) untuk menjalankan pemerintahan, sedangkan La Ode Bulae tetap sebagai kepala negara.
Lain dengan Belanda, moment mangkanya Raja La Ode Saete dan raja penggantinya yang masih sangat muda dimafaatkan untuk menguasai pemerintahan kerajaan Muna dengan memaklamatkan secara sepihak bahwa segala urusan pemerintahan Kerajaan Muna berada dalam kendali Pemerintahan Kolonial Belanda.
Raja La Ode Bulae yang masih begitu muda tidak mampu melawan maklumat tersebut, sehingga untuk beberapa saat segala urusan administrasi pemerintahan dijalankan oleh Wali Raja dari Kesultanan Buton yang ditunjuk oleh Pemerintah Kolonial Belanda.
Setelah Dewasa, La Ode Bulae mejalankan pemerintahan melajutkan kebijakan  Ayahandanya.  La Ode Saete menyeruhkan untuk melakukan konfrontasi dengan Kolonial Belanda dan Sekutunya Buton. La Ode Bulae menyeruhkan perang semesta terhadap Kolonial Belanda dan Buton sehingga terjadi berang besar antara Kerajaan Muna dengan Belanda dan sekutunya Buton.
Dalam sebuah perang, Belanda dan sekutunya Buton berhasil menangkap La ode Bulae dan  membawahnya kepersidangan pengadilan di Makassar. Dalam periudangan pengadilan tersebut, La Ode bulae dinyatakan bersalah dan dibuang di Pulau Nusa Kambangan, kemudian diasingkan ke Bengkulu.
20. Raja Muna XXX -  La Ode Ngkaili ( 1870-1907)
La Ode Ngkalili adalah raja Muna Pada masa Pemerintahan La Ode Ngkaili Pusat pemerintahan Kerajaan Muna di pindahkan dari Kota Muna ke Raha oleh penguasa Kolonial Belanda.  Pemindahan pusat pemerintahan tersebut dibawah tekanan  militer Kolonial Belanda setelah pasukan Kerajaan Muna mengalami kekalahan dalam sebuah pertempuran melawan pasukan koalisi Belanda- Buton. Bersamaan dengan pemindahan ibu kota kerajaan, pemerintah Kolonial Belanda mengutus seorang raja dari Kesultanan Buton yaitu la Ode Maktubu untuk menggulingkan  Raja La Ode Ngkaili yang sedang berkuasa dan diangkat oleh Sarano Wuna.
 21. Raja Muna XXXI -  La Ode Ahmad Maktubu/ periode pertama (1907 –- 1914)
 Setelah pasukan koalisi Belanda –Buton memenangkan pertempuran pada tahun 1906 dan berhasil menggulingkan Raja Muna XXX  La Ode Ngkaili, penguasa Kolonial Belanda di Makassar mengutus seorang dari Kesultanan Buton yakni La Ode Maktubu untuk menjadi Raja di Kerajaan Wuna sebagai Raja Muna XXXI. La Ode Maktubu adalah Putera Sultan Buton La Ode Salihi buah  perkawinannya dengan putri raja Muna La Ode Bulae yang bernama Wa Ode Ogo.
Walaupun La Ode Ahmad Maktubu masih memiliki hubungan darah dengan Raja-Raja Muna, namun intervensi Pemerintahan Belanda dan Pengkoptasian Kesultanan Buton terhadap Kerajaan Muna tidak diterima oleh segenap masyarakat Kerajaan Muna sehingga terjadi penolakan terhadap pengangkatan La OdeAhmad  Maktubu tersebut.
Para Petinggi kerajaan Muna yang didukung oleh seluruh masyarakat Muna melakukan perlawanan dan menyeruhkan perang terbuka terhadap intervensi pemerintahan Kolonial tersebut. Salah satu dari wujud perlawanan itu adalah Sarano Wuna segera menggelar  rapat dan bersepakat untuk mengakat La Ode Umara sebagai Raja Muna XXXI menggantikan Raja La Ode Ngkaili yang telah digulingkan oleh koalisi Belanda- Buton, serta tidak mengakui La Ode Maktubu Sebagai Raja Muna.
 Besarnya dukungan rakyat terhadap keputusan Sarano Wuna yang  tidak mengakui La Ode Ahmad Maktubu sebagai raja Muna,  memaksa La Ode Ahmad Maktubu    meninggalkan  Muna dan kembali ke Buton. Sekembalinya di Buton, Laode Ahmad Maktubu mengadukan perinstiwa tersebut pada sekutunya  Belanda.
Pengaduan Kesultanan Buton atas sikap Pemerintahan Kerajaan Muna mengusir utusan Kesultanan Buton, ditanggapi serius oleh pemerintah Kolonial Belanda sehingga dikirim pasukan militer untuk memerangi kerajaan Muna.
Pada sebuah pertempuran di sekitar Lohia ( Selat Buton ) tahun  1907, pasukan sekutu Belanda – Buton  berhasil mengalahkan prajurit kerajaan Muna dan menggulingkan pemerintahan La Ode Umara yang diangkat oleh sarano Wuna. Setelah berhasil menggulingkan Pemerintahan  La Ode Umara, Belanda kembali menobatkan La Ode Ahmad Maktubu sebagai raja Muna sampai tahun 1914.
23. Raja Muna XXXIV – La Ode Pulu (1914-1918)
 Pada masa pemerintahan La Ode Pulu, intervensi politik Kolonial Belanda di Kerajaan Muna semakin kuat. Di akhir masa pemerintahan La Ode Pulu ( 1918 ) Pemerintah Kolonial Belanda dan Kesultanan Buton secara sepihak melakukan perjanjian yang dikenal dengan Korte Verklaring pada 2 Agustus 1918. Belanda dalam perjanjian itu  diwakili oleh Residen Bougman sedangkan Kesultanan Buton di Wakili oleh Sultan Buton La Ode Muhammad Asyikin.  Isi perjanjian tersebut adalah  Belanda hanya mengakui ada dua pemerintahan setingkat swapraja di Sulawesi tenggara yaitu Swapraja  Laiwoi dan Swapraja  Buton.  Dengan demikian menurut perjanjian tersebut secara otomatis Muna menjadi bagian dari Kesultanan Buton/ Underafdeling.
Sebagai Raja yang berdaulat dan diangkat oleh Sarano Wuna, La Ode Pulu tidak mengakui perjanjian Korte Varklering tersebut sehingga beliau memimpin rakyat Muna untuk melakukan perlawanan  terhadap Belanda dan Buton.
Karena kalah dalam persenjataan dan jumlah personil pasukan maka La Ode Pulu dan pasukannya dapat dikalahkan oleh Pasukan Koalisi Belanda-Buton. akhirnya La Ode Pulu dapat ditangkap dan di asingkan di Nusa Kambangan. Selama dua Tahun pasca pemerinyahan La Ode Pulu, Kerjaan Muna berada dalam Kekuasaan Kolonial Belanda sampai  dewan Adat ( Sarano Wuna mengadakan rapat dan mengangkat La Ode Afiuddin sebagai Raja.
Raja Muna XXXVI  – La Ode Dika gelar Omputo Komasigino ( 1930- 1938 ).
Pada tahun 1930, Sarano Wuna kembali mengadakan Rapat untuk mengangkat Raja Muna. Pada rapat yang digelar selama 7 hari tersebut, Sarano Wuna menyepakati untuk mengangkat seorang pejabat kampung yaitu Kino Labasa yang bernana La Ode Dika sebagai Raja Muna menggantikan La Ode Rere yang digulingkan oleh Kolonial Belanda.
Pada masa pemerintahan La Ode dika dilakukan pemugaran masjid agung di Kota Muna menjadi semi permanen. Sebagian dari  material  pembuatan masjid tersebut dibantu oleh kontrolir Belanda , Jules Couvreur  yang bertugas di Muna saat itu.
Karena selama menjadi Raja Muna ( 8 Tahun ) La Ode Dika sangat fokus terhadap pembangunan masjid, maka beliau  digear Komasigino artinya yang memiliki masjid.Selama bertugas di Muna  Juleus Couvreur juga giat menelusuri sejarah dan mempelajari adat istiadat masyarakat Muna. Penelusurannya terhadap sejarah dan adat istiadat tersebut dituangkan dalam sebuah buku “Sejarah dan Kebudayaan Kerajaan Muna “ yang diterbitkan Artha Wacana Press, Kupang, Nusa Tenggara Timur, tahun 2001.  
 Sebagai mana raja muna yang lain, La Ode Dika juga tidak mau tunduk dengan Kolonial Belanda dan sekutunya Buton. La Ode Dika juga tidak mengakui isi perjanjian Korte Verklaring sebab perjanjian itu dianggap ilegal. Sikap perlawanan La Ode Dika tersebut di tunjukan saat berkunjung di istana kesultanan Buton. Di hadapan Sultan Buton, La Ode Dika tidak mau memberi hormat pada Sultan, tapi malah justeru mengancungkan telunjuk seakan memberi ancaman pada Sultan Buton.
 Apa yang yang dilakukan La Ode Dika tersebut oleh Sultan Buton dilaporkan pada Penguasa Kolonial Belanda di Makassar. Akibatnya La Ode Dika dipecat dari jabatannya sebagai Raja Muna.
Menurut La Ode Ali Hanafi salah seorang Putera La Ode Dika dalam Buku bigrafi “La Ode Dika Omputo Komasigino” yang ditulisnya mengatakan bahwa penobatan La Ode Dika sebagai raja Muna tidak melewati proses sebagai mana lazimnya penentuan kandidat raja . La Ode Dika sebagai mana tertuang dalam Biografi tersebut adalah satu-satunya raja yang dinobatkan menjadi Raja Muna yang tidak terlebih dahulu menjabat Kino Ghoera tetapi hanya menjabat sebagai  kepala Kampung. Jabatan terakhir La Ode Dika sebelum menjadi Raja Muna adalah Kepala Kampung Labasa.
32. Raja Muna XXXVII  – La Ode Pandu ( 1947-1956).
Setelah terjadi kekosongan kekuasaan di kerajaan Muna selama Sembilan  tahun ( 1938– 1947 ), pemerintah Belanda di Makassar mengangkat  La Ode Pandu sebagai pejabat Raja Muna pada tahun 1947 dan dilantik pada tahun itu juga di depan Masjid Muna di Kota lama Muna. Pelantikan Laode Pandu dihadiri oleh utusan pemerintah belanda. La Ode Pandu mengahiri masa pemerintahannya setelah meninggal akibat ditembak gerombolan DI/TII di Posunsuno Kecamatan Parigi saat melakukan kunjungan di Wasolangka.
Peristiwa penembakan tersebut terjadi saat Raja La Ode Pandu akan melakukan kunjungan ke Wasolangka. Kunjungan itu berkaitan terjadinya paceklik di wilayah tersebut akibat gagal panen. Dalam perjalanan menuju Wasolangka tersebutlah kendaraan yang ditumpangi Raja Muna La Ode Pandu dihadang para pemberontak DII/TII. Ikut menjadi korban dalam peristiwa itu adalaah sopir beliau dan pengawalnya.
Sepeninggal La Ode Pandu tidak ada lagi proses pengangkatan Raja. Demikian pula dengan dewan sara bubar dengan sendiri. Olehnya itu Kerajaan Muna juga ikut bubar.
Para pejuang Muna memfokuskan diri dalam perjuangan pembentukan Propinsi Sulawesi Tenggara dan Kabupaten Muna.Gerakaan perjuagan ini berkaitan dengan kooptasi Kesultanan Buton terhadap Kerajaan Muna, sehingga begitu ada wacana pemisahan Kabupaten Sulawesi Tenggara dari Propinsi Sulawesi Selatan tenggara dan akan membentuk propinsi sendiri, Muna tidak masuk dalam salah satu Kabupaten yang akan menjadi Propinsi Sulawesi tenggara.
Melihat fakta tersebut Tokoh-tokoh Muna, baik yang ada di Muna ataupun d Makassar, yang tua ataupun yang muda bersatu secara sinergis memperjuangkan pembentukan Propinsi Sulawesi tenggara sekaligus pembentukan kabupaten Muna.