Senin, 17 November 2014

Sejarah Negeri Wuna


Posted by Lezna hangat
CATATAN SEJARAH
"Memasuki Kota Muna Sulawesi Tenggara, tidak boleh sembarangan. Berjalan kaki saja dilarang,apalagi menunggang kuda Hal ini tak lain untuk menjaga etika dan sopan santun.Yang boleh menunggang kuda hanya para pejabat tinggi.
Kalau sudah mendekati rumah kediaman Perdana Menteri, penunggang kuda juga harus turun, lalu berjalan kaki ke tempat tujuan di kota tersebut.
Budaya dan tatakrama di Kota Muna adalah potret sepenggal sejarah Kerajaan Muna di masa lampau, sebagaimana diungkapkan Jules Couvreur dalam buku Sejarah dan Kebudayaan Kerajaan Muna yang diterbitkan Artha Wacana Press, Kupang, Nusa Tenggara Timur, tahun 2001.
Couvreur cukup memahami sejarah dan kebudayaan Muna, salah satu etnis yang mendiami Pulau Muna dan pulau-pulau lain di sekitarnya. Sebab, dia adalah pegawai pemerintah kolonial Belanda yang pernah menjabat sebagai kontroler (setingkat bupati) di Kerajaan Muna selama kurang lebih dua tahun (1933-1935).
Selama kurun waktu itu dia tekun menggali sejarah dan kebudayaan daerah tersebut.
Ketika Couvreur meninggal dunia di Den Haag, Belanda, pada tahun 1971 dalam usia 70 tahun, naskah yang ditulisnya tahun 1935 itu masih dalam bentuk stensilan berbahasa Belanda. Stensilan itu kemudian diterjemahkan Dr Rene van den Berg, dosen linguistik dan peneliti bahasa Muna di Darwin, Australia. Muna pada asalnya dikenal dengan WUNA (bunga) yang menberi makna spiritual kepada kejadian alamnya,dimana terdapatnya gugusan batu yang berbunga seakan-akan batu karang yang ditumbuhi rumput laut.
Nama Wuna kini ditukar dengan Muna dan menjadi daerah dalam Propinsi Sulawesi Tenggara, sebagaimana nama asli suku Muna dan Pulau Muna. Namun, kata "Wuna" itu lama kelamaan diucapkan dan ditulis menjadi "Muna" dalam laporan dan bahasa resmi.
Wuna dalam bahasa Muna berarti bunga. Disebut begitu karena tidak jauh dari Kota Wuna itu terdapat sebuah bukit batu karang yang sewaktu- waktu ditumbuhi sejenis rambut karang menyerupai bunga.
Kota Muna terletak sekitar 25 kilometer dari Raha, ibu kota Kabupaten Muna, sekarang.
Daratan Pulau Muna memang hampir didominasi batu karang. Bukit batu (yang sering) berbunga itu disebut "Bahutara" yang diartikan sebagai bahtera. Hal itu terkait dengan tradisi lisan yang menyebutkan bahwa di tempat itulah perahu "Sawerigading" tokoh asal Bugis Sulawesi Selatan yang melegenda, terdampar setelah menabrak/rempuh batu karang. Para pengikut Sawegading sebanyak 40 orang dari Luwu, Sulsel, kemudian terpencar ke berbagai tempat, sebagian membuat koloni di Muna, dan lainnya ke Konawe di Jazirah Sulawesi Tenggara.
Sejalan dengan semakin baiknya sistem pemerintahan, pada masa kekuasaan LAKILAPONTO sebagai Raja Muna VII (1538- 1541) mulailah dibangun pusat kerajaan di lokasi yang disebut Wuna tadi. Pembuatan benteng yang mengelilingi Kota Wuna merupakan prestasi besar yang dihasilkan pemerintahan raja tersebut.
Setelah LAKILAPONTO dilantik menjadi Sultan Buton, pembangunan Kota Wuna dilanjutkan penggantinya, La POSASU, adik LAKILAMPO. Pertabalan LAKILAPONTO sebagai Sultan Buton merupakan hadiah dari Sultan yang sedang berkuasa atas keberhasilan Raja Muna itu mengalahkan dan membunuh bajak laut La Bolontio, pengacau keamanan rakyat Buton.
Setelah menjadi Pemimpin Buton dan kemudian bergelar Sultan Murhum, menyusul diterimanya Islam sebagai agama resmi Kerajaan, LAKILAPONTO mengadakan kesepakatan dengan adiknya, La POSASU, untuk saling membantu dan bekerja sama bila kedua kerajaan menghadapi situasi pelik, termasuk ancaman dan intervensi dari luar. Hubungan persaudaraan di antara kedua Kerajaan terjalin hangat selama kurang lebih 3,5 abad. Namun, dalam kerangka politik pecah belah pemerintah kolonial Belanda bersama Sultan Buton secara sepihak membuat perjanjian yang disebut Korte Verklaring pada 2 Agustus 1918.
Isi perjanjian itu menyebutkan, Belanda hanya mengakui dua pemerintahan swapraja di Sulawesi Tenggara, yakni Swapraja Buton dan Swapraja Laiwoi di Kendari. Sejak saat itu Kerajaan Muna yang berdaulat dinyatakan berada di bawah kontrol Kesultanan Buton. Sebagai subordinasi Kesultanan Buton, Muna praktis menjadi salah satu dari empat wilayah penyangga (bharata) kerajaan Islam tersebut.
Tiga Bharata yang lain adalah Tiworo, Kulisusu, dan Kaledupa.
Berdasarkan Korte Verklaring itu pula beberapa kerajaan kecil di sekitar Kesultanan Buton, seperti Tiworo, Kulisusu, Kaledupa, Rumbia, dan Kabaena, ikut menjadi wilayah kekuasaan Kesultanan Buton. Dua kerajaan kecil yang terakhir merupakan wilayah nonstruktural karena tidak menyandang predikat Bharata.
IHWAL pembangunan Kota Muna, Couvreur mengutip kepercayaan mistiK bahwa dalam pembangunan benteng kota itu oleh LAKILAPONTO dibantu para jin (roh halus. Pembuatan benteng itu memang merupakan pekerjaan raksasa sebab, seperti ditulis Couvreur, panjang keliling pagar tembok itu mencapai 8.073 meter dengan tinggi empat meter dan tebal tiga meter. Selain melanjutkan dan menyempurnakan pembangunan tembok pagar Ibu Kota Kerajaan tersebut, La POSASU sebagai pengganti LAKILAPONTO juga mendirikan bangunan tempat Perguruan Islam, sesuai anjuran Syekh Abdul Wahid. Seperti disebutkan La Kimi Batoa, pensiunan guru sejarah, Abdul Wahid adalah penyebar agama Islam pertama di Pulau Muna.
Fasilitas publik lainnya di Kota Muna adalah masjid.
Masjid pertama dibangun pada masa pemerintahan La Titakono sebagai Raja Muna X (1600- 1625).
Menurut La Ode Muhammad Sirad Imbo (65), tokoh adat Muna, masjid yang dibangun raja tersebut masih sederhana dan bersifat darurat. Masjid agak besar baru dibangun pada era pemerintahan Raja La Ode Huseini dengan gelar Omputo Sangia (1716- 1757). Masjid tersebut dibangun di tempat berbeda dengan lokasi masjid pertama.
Masjid di Kota Muna itu hampir seumur dengan Masjid Agung Keraton Buton di Bau- Bau.
Masjid Keraton Buton dibangun oleh Sultan Sakiuddin Darul Alam pada tahun 1712 dengan konstruksi permanen, dan baru dipugar pada tahun 1930-an di masa pemerintah Sultan Buton ke-37, Muhammad Hamidi. Adapun Masjid Agung Kota Muna baru dibangun secara permanen sekitar tahun 1933 oleh La Ode Dika sebagai Raja Muna (1930-1938).
Kegiatan pembangunan (renovasi) masjid tersebut mendapat bantuan dari Kontroler Belanda yang berkedudukan di Raha, Jules Couvreur. "Dia menyediakan bahan, seperti semen, atap seng, dan bahan bangunan lainnya. Karena selama memangku Raja lebih banyak memerhatikan pembangunan masjid tersebut, maka La Ode Dika diberi gelar Komasigino (pemilik masjid).
Dua dari 14 putra-putri La Ode Dika tercatat sebagai tokoh daerah, yakni La Ode Kaimuddin, mantan Gubernur Sulawesi Tenggara, dan La Ode Rasyid, mantan Bupati Muna.
KERAJAAN Muna di masa lalu kini nyaris tak meninggalkan bekas. Satu-satunya peninggalan yang tampak di Kota Muna saat ini hanyalah bangunan Masjid yang pernah dirawat La Ode Dika, Raja Muna terakhir yang dipilih oleh Sarano Wuna yang dibentuk Raja La Titakono pada abad ke-17 itu.
Bangunan masjid itu juga sudah tidak asli. Ketika Bupati Muna dijabat Maola Daud pada tahun 1980-an, bangunan Masjid tua itu dirombak total ukuran dan bentuknya. Giliran Ridwan Bae menjadi Bupati Muna (2000- 2005), bangunan masjid itu dirombak lagi untuk dikembalikan ke bentuk asalnya.
Bentuk masjid di bekas ibu kota kerajaan itu sangat sederhana. Bangunannya terdiri atas tiga susun, termasuk tempat dudukan kubah. Itulah bentuknya yang asli dari masjid tua tersebut. Peninggalan yang lain sudah tidak ada lagi, kecuali beberapa makam tua yang menjadi kuburan Raja-Raja zaman dulu, antara lain makam La Ode Huseini, yang pada masa hidupnya dikenal sangat taat menjalankan ajaran Islam.
Sisa-sisa ataupun reruntuhan Benteng Kota Muna yang konon dibangun dengan bantuan jin itu juga sudah tidak ada lagi. Namun pagar tembok itu masih tersisa sekitar 1.800 meter yang masih utuh. Hanya fisik bangunannya memang tidak kelihatan karena dibalut rumput liar.
Kerajaan Muna yang dulu berbudaya feodal kini tinggal kenangan. Yang ada hanyalah hamparan semak belukar di sebuah dataran agak cekung yang diapit bukit-bukit karang.
Di sana-sini tampak rumah- rumah adat Muna dari kayu jati yang baru dibangun. Menurut rencana Pemerintah Kabupaten Muna membangun perkampungan bagi para pemangku Sarano Wuna(Mahkamah Adat) sebagai miniatur Kota Muna beberapa abad silam
Leluhur Muncul dari Bambu
MITOS asal-usul manusia yang menjadi penguasa di daerah kepulauan di Sulawesi Tenggara mempunyai versi yang sama. Wa ka ka, Ratu pertama Kesultanan Buton, diceritakan datang dari China dan pada awalnya ia muncul dari lubang bambu kuning di dalam kompleks Keraton Buton sekarang. Leluhur keturunan Mokole (raja) di Kabaena (kini Kabupaten Bombana) juga dimitoskan muncul dari bambu yang biasa dipakai membuat nasi bambu.
La Eli alias Baidulzamani, yang disebut sebagai raja pertama di Pulau Muna, menjadi legenda masyarakat Muna bahwa ia berasal dari Luwu, Sulawesi Selatan, lalu muncul dari dalam lubang bambu saat ditemukan manusia yang telah lebih dulu membangun koloni di Wamelai dalam wilayah Tongkuno. Setelah diangkat menjadi raja,
Baidulzamani diberi gelar Bheteno ne Tombula (’Manusia yang Dilahirkan di dalam Bambu). Adapun permaisuri bernama Tandi Abe (Tanri Abeng) juga dikabarkan berasal dari Luwu. Konon ia terdampar di Napabale, sebuah laguna di pantai timur Pulau Muna dan kini menjadi salah satu obyek wisata.
Salah seorang putri Raja Luwu tersebut dengan menumpang sebuah talam besar pergi ke arah timur mencari pria yang telah menghamilinya. Talam itu telah menjadi batu sekarang. Pria yang dicari tak lain adalah Baidulzamani yang telah lebih dulu berada di daratan Muna.
Setelah dipertemukan mereka pun dikawinkan dan menetap di Wamelai.
Perkawinan itu melahirkan tiga anak. Salah seorang di antaranya bernama Kaghua Bhangkano yang kemudian menjadi Raja Muna II dengan gelar Sugi Patola. Sugi berarti ’Yang Dipertuan’. Lakilaponto Raja Muna VII dan Sultan Buton VI lalu menjadi Sultan Buton pertama dengan sebutan Murhum (almarhum) setelah mangkat, berasal dari garis keturunan sugi tersebut.
TITAKONO, Raja Muna X (1600-1625) tercatat dalam sejarah Muna sebagai pemrakarsa penetapan golongan dalam masyarakat Muna. Ia menetapkan penggolongan itu bersama sepupunya bernama La Marati. Yang terakhir ini adalah anak Wa Ode Pogo, saudara perempuan Lakilaponto. Titakono sendiri adalah putra Rampei Somba, saudara Lakilaponto. Sebagai raja, Titakono mengangkat sepupunya itu menjadi pembantu utamanya dalam pemerintahan dengan jabatan yang disebut bhonto bhalano (semacam perdana menteri). Setelah itu keduanya bersepakat menetapkan strata sosial masyarakat. Berdasarkan kesepakatan itu, golongan masyarakat dari garis keturunan sugi sampai kepada Titakono harus diakui sebagai golongan tertinggi yang disebut Kaomu dengan gelar la ode.
Lalu kelompok masyarakat keturunan mulai dari La Marati ditetapkan sebagai golongan setingkat lebih rendah dari Kaomu yang disebut Walaka. Golongan Walaka tidak memakai gelar La ode. La Marati menyetujui penetapan posisinya seperti itu karena menyadari bahwa ayahnya, La Pokainsi, bukan keturunan sugi. Kendati ibunya, Wa Ode Pogo, adalah keturunan sugi dan saudara kandung dari Lakilaponto, La Marati dan keturunannya sudah digariskan menjadi golongan Walaka.
Dalam struktur pemerintahan kerajaan, golongan Walaka berhak menduduki jabatan bhonto bhalano, sebagaimana yang telah dirintis La Marati.
Sementara untuk jabatan raja sudah digariskan harus mereka yang bergelar La ode.
Lapisan ketiga dalam masyarakat Muna di masa lampau adalah golongan Maradika, rakyat biasa. Selain menetapkan penggolongan masyarakat, duet Titakono-Marati juga membentuk dewan adat atau Sarano Wuna. Ketika itu Sarano Wuna terdiri atas enam anggota, yaitu Raja, Bhonto Balano, dan ke-4 ghoerano (empat kepala wilayah yang menjadi basis utama Kerajaan Muna). Mereka adalah ghoerano Tongkuno, Kabawo, Lawa, dan Katobu.
Anggota Sarano Wuna kemudian bertambah sejalan dengan perkembangan wilayah kekuasaan.
Tradisi dan Wisata WISATA -"Lia Ngkobori atau [gua bergaris/bertulis Adalah dua buah goa besar peninggalan nenek moyang bangsa Muna.
Muna yang dalam kitab sejarahnya adalah mendapat gelar KOTA ARABIA LAMA karena keadaan negerinya yang menyerupai Arabia."Pada dinding goa /lia ngkobori. bisa disaksikan lukisan dinding yang menggambarkan kehidupan suku Muna pada masa itu seperti perjuangan suku Muna dalam mempertahankan hidupnya yang digambarkan seorang menaiki seekor gajah, gambar matahari, gambar pohon kelapa yang menggambarkan tingkat pertanian suku Muna, gambar binatang ternak seperti sapi, kuda dan lain-lainnyap.Walaupun relief atau gambar tsb. terkesan sederhana tetapi kita dapat menangkap arti makna yang jelas yaitu keberadaan suku Muna pada saat itu.
Selain gua yang melukiskan relief terdapat pula gua yang didiami oleh burung walet. Gua tsb. mempunyai stalaktit dan stalaknit yang sangat indah dengan warna yang cenderung hitam mengkilap. Apabila kita menyelusuri gua kecil kita akan menyaksikan keindahan batu yang berbentuk bulatan-bulatan berwarna putih. Kawasan gua tsb. sangat cocok untuk rekreasi dan berkemah, berhawa sejuk dengan alamnya yang asli. Jarak menuju obyek ini sekitar satu jam atau sekitar 20 Km dari kota Raha ke arah Timur. TRADISI -"Perkelahian Kuda merupakan salah satu atraksi yang terkenal di Sulawesi Tenggara yang hanya terdapat di Muna.Perkelahian kuda diadakan pada berbagai acara atau perayaan. Penyambutan tamu penting atau melayani permintaan khusus.Seekor kuda betina akan diperebutkan oleh dua ekor kuda jantan sehingga mereka berkelahi untuk mendapatkannya. Perkelahian ini biasanya diadakan di lapangan terbuka

SEJARAH KERAJAAN MUNA

SEJARAH KERAJAAN MUNA

A. SEJARAH TERBENTUKNYA KERAJAAN MUNA
 Sebagai Suku bangsa, Muna memiliki sejarah yang cukup panjang.  Dari situs sejarah yang ada di dinding Gua Liangkobori dan   Metanduno menanndakan bahwa peradaban suku bangsa muna dimulai sejak jaman purba mesolitikum. Relief yang ada didinding kedua Gua tersebut menggambarkan kehidupan masyarakat saat itu yang masih nomade dan menggantungkan hidupnya dari berburu dan meramu.
Menelusuri sejarah perdaban masyarakat dan sejarah kerajaan Muna memang agak sulit. Hal ini disebabkan kurangnya literatur  baik berupa manuskrip yang  ditulis oleh sejarawan Muna masa lalu naupun hasil  penelitian ilmiah yang dilakukan saat ini.
Sudah menjadi hal yang lumrah bila menulis Sejarah Muna para penulis menggunakan referensi sejarah buton. Penggunanaan referensi tersebut karena sejarah  buton tidak terlepas dengan sejarah Muna seperti suku muna yang telah mendiami daratan pulau buton sebelum armada mia pata miana mendarat di pulau buton dan la kilaponto Raja Muna VII yang kemudian dinobatkan menjadi Raja Buton VI yang berhasil menjadikan Buton sebagai Kesultanan dan Sultan I.
Dari berbagai literatur yang mengutip tradisi lisan masyarakat muna dan hikayat yang ditulis oleh penyair-penyair buton,  dikatakan bahwa sejarah peradaban manusia di muna dimulai ketika Sawerigading dan pengikutnya yang berjumlah 40 orang terdampar di suatu daratan di Pulau Muna yang saaat ini di kenal dengan nama Bahutara.
 Sejarah kerajaan Muna dimulai setelah dilantiknya La Eli alias Baidhuldhamani gelar Bheteno ne Tombula sebagai Raja Muna I. Namun sebelum itu telah ada komunitas masyarakat yang diyakini merupakan perpaduan antara pengikut Swaerigading  yang berjumlah empat puluh orang dengan masyarakat lokal yang telah mendiami pulau muna sejak ribuan tahun yang lalu.
Sebagaimana yang dijelaskan pada bab-bab terdahulu bahwa Sawerigading bersama pengikutnya empat puluh orang yang menumpang sebuah kapal terdampar di sebuah wilayah yang  diberi nama ‘Bhahutara’pada saat sebuah pulau    mucul dipermukan  yang saat ini dikenal sebagai Pulau Muna.Setelah terdampar, empat puluh orang pengukut Sawerigading tersebut kemudian menyebar  dan membentuk koloni-koloni bersama dengan penduduk asli yang telah terlebih dahulu menghuni Pulau Muna, sedangkan Sawerigading sendiri diceritakan terus melanjutkan petualangannya.
Tidak ada yang menjelaskan  apakah Sawerigading melanjutkan petualangannya dengan kapalnya yang terdampar tersebut atau membuat kapal baru.Tapi yang jelas kehadiran Sawerigading dan emat puluh pengkutnya di Daratan Muna telah membawa nuansa baru dalam pembangunan peradaban dalam kehidupan Orang Muna.
Seiring dengan perkembangan zaman, koloni-koloni yang dibangun oleh pengikut Sawerigading tersebut bersama masyarakat lokal semakin besar hingga terbentuklah kampong-kampong. Setelah penduduk semakin banyak dan kampong yang terbentuk semakin luas serta  permasalahannya juga  yang semakin kompleks maka mereka mengangkat seorang pemimpin diantara mereka untuk mengatur seluruh kehidupan social mereka.
Menurut beberapa catatan sejarah mengungkapkan, sebelum terbentuknya kerajaan Muna, dimuna telah terbentuk delapan kampong dengan pembagian 4 kampong dipimpin oleh kamokula yaitu ;
1.       Tongkuno,pemimpinya bergelar Kamokulano Tongkuno
2.       Barangka,pemimpinnya bergelar Kamokulano Barangka
3.      Lindo, pemimpinnya bergelar Kamokulano Lindo
4.      Wapepi, pemimpinnya bergelar Kamokulano Wapepi
Sedangkan  empat kampung lainnya di pimpin oleh mieno yakni:
1.      Kuara, pemimpinnya bergelar Mieno Kaura
2.      Kansitala,pemimpinnya Mieno Kasintala
3.      Lembo,pemimpinnya bergelar Mieno Lembo
4.      Ndoke. Pemimpinnya bergelar Mieno Ndoke
Pembagian wilayah menjadi depan kampong tersebut bertahan sampai pemeritahan raja Muna VI Sugi Manuru.
Walaupun masih sangat sederhana, kedelapan kampong yang telah terbentuk mengikat diri dalam sebuah ‘Union’ dengan mengangkat Mieno Wamelai sebagai pemimpin tertinggi. ‘Union’ yang telah terbentuk itu sangat memudahkan Bheteno ne Tombula Raja Muna I dalam menyusun struktur pemerintahaan dan struktur social ketika awal-awal pemerintahannya.Union yang telah terbentuk sebelumnya belum dianggap sebagai Negara karena belum memenuhi syarat syarat sebagai sebuah Negara ( Kerajaan ).
Nantilah dilantik Bheteno Ne Tombula sebagai Raja Muna I,  Kerajaan Muna baru dapat dikatakan sebagai sebuah negara karena telah memenuhi syarakat-syarat sebagai sebuah negara yaitu telah memiliki Rakyat, Wilayah dan pemerintahan yang berdaulat dan seluruh stakeholder bersepakat untuk mengikat diri dalam sebuah pemerintahan dengan segala aturan-aturannya yang bernama Kerajaan Muna. 
Sepanjang sejarah kerajaan Muna lebih kurang 530 tahun( 1417—1949 ), tercata ada 39  orang Raja yang pernah memimpin Kerajaan Muna, terdiri dari 34 orang raja yang dipilih dan dilantik oleh Sarano Wuna yaitu lembaga yang memiliki kewenangan mengangkat dan memberhentikan raja, tiga orang di utus oleh Kesultanan Buton dalam rangka politik Kooptasi dengan pengaruh kekuatan Kolonial Belanda yaitu La Ode Umara II dan La Ode Maktubu dan La Ode Ngkaili serta  dua Orang sebagai  Raja Pengganti ( Pejabat Sementara ) karena terjadi kekosongan Kekuasaan akibat intervensi colonial Belanda  yaitu Wa Ode Wakelu ( Permaisuri Raja La Ode Ngkadiri yang digulingkan oleh belanda ) dan La Aka Bhonto balano yang juga saat menjabat Rajanya di Gulingkan Oleh pemerintah colonial Belanda.

B. KERAJAAN MUNA DIPIMPIN OLEH SUGI
Pasca pemerintahan Bheteno Ne Tombula 1467, Kerajaan Muna di pimpin oleh Sugi ( Yang Dipertuan).Tidak ada  catatan sejarah yang mengisahkan mengapa Raja-Raja Muna pasca Bheteno Ne Tombula bergelar Sugi.Namun dari cerita rakyat Muna sedikit mengungkapkan bahwa pemakaian Gelar Sugi tersebut menunjukan kedekatan hubungan antara Kerajaan Muna dengan Kerajaan-Kerajaan di Jawa khususnya Kerajaan Majapahit karena sugi tersebut berasal dari Bahasa Jawi Kuno yang artinya Suci atau dikeramatkan.
   Pemerintahan Kerajaan Muna yang dipimpin oleh Sugi berlangsung selama 71 tahun ( 1467 – 1538 ). Sepanjang sejarah Kerajaan Muna ada lima orang Sugi yang perna memimpin Kerajaan muna. Mereka itu adalah Sugi Patola, Sugi Ambona, Sugi Patani,Sugi La Ende dan Sugi Manuru.
 Dari kelima Sugi tersebut, Sugi Manuru lah yang paling banyak disebut-sebut dalam sejarah. Hal ini berkaitan dengan peranan beliau dalam melakukan penataan Sistem Pemerintahan, Kemasyarakatan, Sosial dan hukum di Kerajaan Muna. Karena jasanya tersebut, Sugi Manuru Oleh Masyarakat Muna di beri gelar “Omputo Mepasokino Adhati” artinya Raja yang menetapkan nilai-nilai dasar ( Adat ). 
D. kerajaan Muna Pra Islam
       Kerajaan Muna pra islam berangsuung selama 208 tahun ( 1417 -1625 ). Dalam kurung waktu tersebut kerajaan Muna dipimpin oleh 10 orang raja.  Pada masa pemerintaha pra islam tersebut tercatat terjadi beberapa peristiwa yang dilakkkan oleh Raja-Raja Muna yang terukir tinta emas dalam lembaran sejarah dunia.
Sayangya akibat kooptasi VOC Belanda dan Kesultana Buton serta terlambatnya pembudayaan tulis dan kurangnya minat masyarakat Muna dalam menulis sejarah maka goresan sejarah Putera Muna tersebut dicatat sebagai sejarah Buton. Akibatnya erajan Muna kurang dikenal dalam pergaulan kerajaan-kerajaan nusantara.

Sabtu, 15 November 2014

Raja Muna – LA Ode Saete gelar Sorano Masigi ( 1816-1830 ).



La Ode
Saete merupakan Raja Muna ke XIV yang dipilih oleh sarano (dewan adat ) Wuna. Pada
waktu yang bersamaan, Kolonial belanda menunjuk la Ode Wita dari Kesultanan
Buton Sebagai Raja Muna sehingga pada waktu itu terjadi dualisme kekuasaan di
Muna.Rakyat Kerajaan Muna dan Sarano Wuna menolak La Ode Wita yang telah
ditunjuk Kolonial Belanda tersebut  
Karenanya
sejak awal pemerintahan La Ode Saete,  Belanda dan sekutunya Buton memerangi Kerajaan
Muna sebagai akibat dari penolakan Sarano Wuna dan Rakyat Muna terhadap
pengangkatan La Ode Wita sebagai Raja Muna yang di tunjuk oleh Belada.
Menghadapi dua kekuatan besar tersebut,  La Ode Saete tidak gentar. Dia menyusun menyusun
strategi dalam menghadapi perang tersebut serta menyeruhkan perang semesta.
 Strategi yang pertama dipilih oleh La Ode
Saete untuk menghadapi perang tersebut adalah  Raja La Ode Saete kembali meindahkan pusat
pemerintahan dekat dengan masjid Muna di Kota Lama Muna. Setelah itu Raja La
Ode Saete juga menyususn strategi perang dalam  melakukan konfrontasi dengan Belanda yang
berkoalisi dengan Kesultanan Buton tersebut. Strategi yang dilakukan oleh La
Ode Saete tersebut ternyata sangat jitu sehingga Belanda tidak dapat menguasai
Kerajaan Muna. Karena La Ode Wita mengembalikan Pusat Kerajaan Muna kembali di
Kota Tua Wuna berdekatan dengan Masjid Wuna, membuat beliau digelar dengan ‘
Omputo Sorano Masigi’ artinya raja yang mendekati masjid.
Semasa
kepemimpinan La Ode SAETE sebagai raja Muna, terjadi beberapa kali perang
terbuka antara Kerajaan Muna dan Kolonial Belanda yang dibantu dengan
Kesultanan buton. Dalam perang tersebut Pasukan Belanda dan dan Buton terus
mengalami kekalahan. Belanda dan sekutunya Buton kewalahan menghadapi Pasukan
Kerajaan Muna.
Beberapa
kali Pasukan Koalisi Buton Belanda dapat dihancurkan oleh pasukan kerajaan Muna
yang dipimpin oleh Raja La Ode Saete. Tak mampu menundukan Kerajaan Muna,
akhirnya La Ode Wita Raja yang dilantik Oleh Belanda akhirnya ditarik kembali
Ke Kesultanan Buton. La Ode Saete mengakhiri masa kekuasaannya di Muna setelah
beliau  Mangkat pada tahun 1830.

Raja Muna La Ode Ngkadiri & Wa Ode Wakelu


Raja Muna XII -La Ode Ngkadiri gelar Sangia Kaindea ( 1626-1667)-
Periode pertama pemerintahannya yakni pada tahun 1643, gelombang ke tiga penyebaran agama islam masuk di Muna di bawah oleh Syarif Muhammad. Pada saat itu perkembangan agama Islam terjadi begitu pesat bahkan mempengaruhi sistem pemerintahan. La Ode Ngkadiri mendapat gelar sangia Kaindea karena beliau di gulingkan diatas sebuah kapal yang diatasnya terdapat taman. Perundingan antara Raja Muna La Ode Ngkadiri dengan pihak belanda tersebut berkaitan dengan perang yang berkepanjangan antara Kerajaan Muna dan belanda yang dibantu oleh Kesultanan Buton. Dalam perang tersebut baik Belanda maupun sekutunya Buton mengalami kerugian yang sangat besar karena selalu mengalami kekalahan. Untuk itu Belanda meminta Raja Muna untuk melakukan perundingan dengan tujuan menghentikan peperangan yang sudah berlangsung cukup lama tersebut. Perundingan tersebut ternyata hanyalah taktik Belanda untuk menangkap La Ode Ngkadiri dan menggulinngkannya dari kedudukannya sebagai Raja Muna.
La Ode Ngkadiri menjadi raja muna selama dua periode, karena penggulingan diatas kapal oleh belanda tidk diakui oleh Sarano Wuna. Untuk menghindari perlawanan yang lebih besar lagi dari seluruh rakyat Muna, maka pemerintah colonial Belanda mengembalikan jabatannya sebagai raja.
3.Raja Muna XIII – Wa Ode Wakelu ( Permaisuri raja -La Ode Ngkadiri )- ( 1667-1668).
Wa Ode Wakelu adalah permaisuri Raja muna XII La Ode Ngkadiri. Wa Ode Wakelu dilantik menjadi Raja Muna oleh Sarano Wuna karena terjadi kekosongan kekuasaan sebagai akibat dari diasingkannya suaminya yang saat itu sedang menjadi raja Muna. Pelantikan Wa Ode Wa Kelu sebagai raja Muna selain mengisi kekosongan kekuasaan juga sebagai wujud perlawanan terhadap penguasa kolonial belanda karena bersamaan dengan di gulingkannya La Ode Ngkadiri diatas sebuah kapal, turut dilantik pula La Ode Muhammad Idris sebagai Raja Muna menggantikan La Ode Ngkadiri. yang telah dengan sewenang-wenang menjatuhkan Raja Muna yang sedang berkuasa.
Perjuangan Wa Ode Wakelu yang didukung oleh sarano wuna dan segenap masyarakat Kerajaan Muna berhasil mengembalikan tahta Kerajaan muna pada yang berhak.hal itu terjadi setelah satu tahun menjadi raja Muna. Pemerintah kolonial Belanda yang didukung oleh Kesultanan Buton tidak mampu melawan gelombang perlawanan semesta rakyat muna dibawah kepemimpinan Wa Ode Wa Kelu, sehingga mereka menerima keputusan Sarano wuna untuk melantik kembali La ode Ngkadiri Sebagai raja muna.
Penerimaan Tokoh dan masyarakat Muna terhadap kepemimpinan Wa Ode Wakelu sebagai raja Muna selain telah berhasil menunjukan sikap perlawanan terhadap penjajaahan belanda, juga merupakan wujud implementasi kesetaraan gender dalam sistem pemerintahan tradisional kerajaan Muna.

Sekilas Sejarah La Kilaponto-Murhum-Haluoleo

Lelaki pemersatu jazirah dan kepulauan di tenggara sulawesi itu adalah Raja Buton ke-6, Sultan Buton I, bergelar Sultan Muhammad Isa Kaimuddin Khalifatul Khamis. Di Muna dia dikenal sebagai Lakilaponto. Konon pula di daratan Konawe dia adalah lelaki bergelar La Tolaki-Haluoleo. Setelah wafat, dia lebih dikenal dengan gelarnya sebagai Murhum: Sultan Murhum.
Selama hampir setengah abad, lebih kurang 46 tahun, dia berhasil mempersatukan jazirah tenggara sulawesi dan kepulauan sekitarnya dalam sebuah nation yang disebut Kesultanan Buton. Kedaulatannya terbentang mulai dari Selayar di Barat hingga Luwuk Banggai di Timur. Kedaulatan Kesultanan Buton tersebut yang bercorak sistem pemerintahan berlandaskan syariat Islam pada masa itu dikenal dan diakui oleh negara kesultanan yang lain di nusantara. Bahkan di jaringan kekhalifahan kesultanan dunia. Ketika itu Khilafah Islamiah di Turki-Istambul (Kesultanan Otsmaniah) sebagai pusat pemerintahan Islam mengakui kedaulatan Kesultanan Buton sebagai nation yang berdaulat, menjalankan secara penuh syariat Islam dalam sistem pemerintahannya. Oleh Khalifah Otsmaniah, Sultan Buton dianugerahi gelar Khalifatul Khamis—sebuah gelar yang umum digunakan oleh para sultan dalam jaringan kekhalifahan Otsmaniah.
Siapakah gerangan lelaki itu? Begitu melegendanya dia. Dalam sejarah Buton-Muna, dia adalah anak dari Sugimanuru, Raja Muna ke-3. Ibundanya bernama Watubapala, cucu dari Raja Buton ke-3 bergelar Batara Guru. Jadi La Kilaponto adalah cicit dari Batara Guru.
Syahdan, ketika masih remaja, suatu pagi dia duduk bersimpuh di hadapan ayahandanya. Diceritakannya tentang mimpinya semalam yang menggundahkan hatinya. Ia melihat dirinya dalam penampakan yang besar sekali. Dalam posisi berjongkok kedua lututnya bertumpu, berlutut di Buton. Muna di bawahnya. Dan kedua tangannya menjangkau daratan Konawe dan Moronene. Mendengar penuturan puteranya itu raja Sugimanuru tertegun. Sejurus kemudian ia berkata: “Daerah-daerah itu adalah negeri-negeri leluhurmu…”.
Tatkala beranjak remaja, oleh ayahandanya, Sugimanuru, dia dikirim untuk belajar adat, ilmu keksatriaan dan ketatanegaraan di Kerajaan Buton. Ketika itu kerajaan Buton adalah sebuah kerajaan yang telah memiliki sistem dan pranata ketatanegaraan yang lengkap pada masanya. Kelengkapan sistem pranata ketatanegaraan tersebut adalah sebagai konsekuensi kerajaan yang berada dalam jaringan kerajaan nusantara di tanah Jawa: Kerajaan Majapahit. Bagaimana tingkat peradaban kerajaan Buton kala itu? Naskah purbakala bertarikh sekitar tahun 1365 M, Kitab (Kakawin) Negara Kertagama tulisan Mpu Prapanca dalam pupuh LXXVII mendeskripsikan kerajaan Buton sebagai berikut: “Buton adalah daerah keresian, dijumpai lingga, di dalamnya (kerajaan) terbentang taman, terdapat saluran air (drainase) dan rajanya bergelar Yang Mulia Maha Guru...”. Tua Rade alias Tuan Raden, Raja Buton ke-4, putra Raja Manguntu (Batara Guru, Raja Buton ke-3) ketika pulang berkunjung dari negeri leluhurnya di Majapahit, dihadiahkan oleh Raja Majapahit sejumlah perlengkapan adat, bendera perang, sejumlah peralatan kesenian terbuat dari kuningan dan ilmu ketatanegaraan yang diterapkan layaknya di Majapahit. Tuan Raden dikenal juga dengan gelarnya: Sangia Sara Jawa.
Demikianlah, La Kilaponto kecil ditempa di Belo Baruga (semacam lembaga kaderisasi kepemimpinan) dalam lingkungan kerajaan Buton. Tatkala itu Raja Buton ke-6 Rajamulae bergelar Sangia yi Gola (yang manis bagai gula), yang juga adalah pamannya, diam-diam mengawasi kemanakannya yang memiliki potensi bakat tersebut.
Kelak setelah beranjak dewasa La Kilaponto dalam riwayat hidupnya banyak menorehkan warna. Tatkala diutus ke daratan Sulawesi guna mememadamkan ekspansi kerajaan Mekongga terhadap kerajaan Konawe dia sempat menikah di sana. Pernikahannya dengan putri kerajaan Konawe membuahkan tiga orang putri: Wa Konawe, Wa Poasia dan Wa Lepo-Lepo. Disini pula La Kilaponto yang atas jasanya memadamkan ekspansi kerajaan Mekongga maka dia dikukuhkan oleh sara mokole Konawe sebagai raja Konawe. La Tolaki-Haluoleo, demikian gelar yang diabadikan tatkala selama delapan hari delapan malam sara Konawe berunding, bermusyawarah membulatkan suara guna mengukuhkannya sebagai raja Konawe. Ketika La Kilaponto hendak kembali ke Muna-Buton menemui ayahandanya dan pamannya—dalam perjalanan dari Konawe melalui Tinanggea, tanpa sengaja dia bertemu wanita yang sangat memikat hatinya dan akhirnya dinikahinya pula. Belakangan, di kemudian hari wanita tersebut diketahui ternyata adalah saudara tirinya (bernama Wa Pogo alias Wa Karamaguna). Kejadian ini membuat murka ayahandanya, Raja Muna. Dia kemudian diusir, diharamkan menginjakkan kakinya di bumi Muna maupun Buton.
Betapa malangnya lelaki itu. Namun disatu sisi betapa beruntungnya dia. Oleh ayahandanya Sugimanuru maupun pamannya Sangia yi Gola, Raja Buton, dia diperbolehkan menuju ke Selayar selama pengasingannya. Selayar adalah negeri leluhurnya juga. Di Selayar bibinya yang bernama Wa Maligano (putri Raja Muna ke-2 Sugilaende) adalah permaisuri dari penguasa, Opu Selayar bergelar La Pati Daeng Masoro. Adapun adiknya yang telah dinikahinya diasingkan di pulau Kadatua. Begitu besarnya perhatian dan kasih sayang Sangia yi Gola terhadap para kemanakannya, La Kilaponto dan Wa Karamaguna. Dan mengingat pengabdian La Kilaponto selama belajar di Buton, Sangia yi Gola mengutus beberapa pengawal dan dayang-dayang mendampingi dan mengurus segala kebutuhan kemanakannya, Wa Karamaguna. Di pulau ini dibangun sebuah istana kecil dan benteng oleh para pengikut Wa Karamaguna, dikenal sebagai benteng Kadatua.
Foto: La Ode Marzuki S.Ip
Situs benteng peninggalan Wa Pogo/Wa Karamaguna di pulau Kadatua
Foto: La Ode Marzuki S.Ip
Situs makam Wa Pogo/Wa Karamaguna di pulau Kadatua
Betapa malangnya La Kilaponto. Namun betapa beruntungnya juga dia. Kelak peristiwa pengusiran dan pengasingannya itu akan menempanya menjadi manusia yang lebih matang dalam mengarungi kehidupannya. Peristiwa itu akan menjadi titik balik dalam perjalanan hidupnya. Selama di Selayar dia bersahabat dengan tokoh dan ksatria di sana, seperti Manjawari yang adalah sepupunya sendiri (putra La Pati Daeng Masoro) dan Batumbu (putera Raja Wajo). Batumbu juga adalah penguasa dari daerah Poleang dan Moronene.
Seperti umumnya perairan di nusantara, laut Flores di Selayar sering terganggu oleh gangguan lanun laut. Lanun, perompak bajak laut tersebut dikenal sebagai bajak laut Tobelo, sebagian terdiri dari orang-orang Portugis yang menggangu aktivitas pelayaran pengangkutan rempah-rempah di wilayah timur nusantara baik di Sulawesi Tenggara maupun Sulawesi Selatan (baca: Sureq Ilagaligo, Dr Van Kern). Ketika itu La Kilaponto bersama sepupunya (Manjawari) dan sahabatnya (Batumbu), memimpin perlawanan terhadap lanun laut tersebut. Kejar mengejar dan pertempuran bahkan seringkali terjadi sampai ke laut lepas dan terdampar sampai di pulau Marege (Aborigin-Australia).
Lanun Tobelo beroperasi hampir di seluruh laut nusantara wilayah timur, termasuk di perairan Buton yang memiliki armada pengangkut rempah-rempah dan pelabuhan transit kapal-kapal pengangkut rempah-rempah ke wilayah timur maupun barat. Aktivitas lanun Tobelo membuat galau Rajamulae. Lanun Tobelo telah sangat mengganggu keamanan dan ekonomi bukan hanya kerajaan Buton tetapi juga kerajaan lain sekitarnya. Sebagai raja dari sebuah kerajaan yang besar di masanya, Rajamulae merasa bertanggung jawab terhadap keamanan dan ekonomi di selat Buton dan perairan kerajaan lain di sekitarnya. Maka Rajamulae mengambil inisiatif menghimpun dan menyatukan semua kekuatan yang ada. Dibuatnya pula sayembara: barang siapa yang berhasil menaklukkan lanun Tobelo berikut pemimpinnya yang dikenal bernama La Bolontio maka akan dinikahkan dengan putri raja. Dalam Sureq I Lagaligo oleh orang Bugis-Makassar nama La Bolontio disebutkan sebagai La Bolong Tiong, artinya si hitam pekat.
Demikianlah sejumlah ksatria dari berbagai negeri turut serta dalam persekutuan tersebut guna menumpas lanun yang telah mengganggu perairan di kerajaan-kerajaan di seputar jazirah tenggara sulawesi itu. Tentu saja juga berarti ikut dalam sayembara tersebut. Rajamulae juga teringat akan kemanakannya, La Kilaponto yang masih dalam pengasingannya di Selayar. Maka dipanggillah kemanakannya itu. Sebelum menemui pamannya, Rajamulae, terlebih dahulu La Kilaponto menemui ayahandanya, Sugimanuru, guna memohon restu dan dimaafkan segala khilaf yang telah diperbuatnya. Oleh Sugimanuru kekhilafan putranya tersebut dimaafkan dan diizinkan menemui pamannya, menumpas lanun laut yang telah mengganggu kerajaan Buton, Muna dan kerajaan sekitarnya. “Berangkatlah ke Buton, bantulah pamanmu dan perbaikilah keturunanmu di sana…” demikian Sugimanuru berpesan pada putranya.
Bersama dengan sepupu dan sahabatnya, Manjawari dan Batumbu, maka berangkatlah La Kilaponto bersama sejumlah pasukan yang telah disiapkan oleh Raja Mulae untuk menumpas lanun Tobelo tersebut. La Bolong Tiong konon adalah lanun yang sakti, berbadan tinggi, kekar dan bermata satu (atau salah satu matanya rusak/buta). Demikianlah satu persatu, ketiga ksatria tersebut bertarung melawan La Bolontio. Dengan strategi bertarung yang sederhana, La Bolontio dapat ditaklukkan oleh La Kilaponto. La Bolontio takluk, kepala dan kemaluannya dipenggal. Seluruh lanun laut itu pun takluk oleh ketiga ksatria tersebut.

Foto: La Ode Marzuki, S.Ip
Tengkorak kepala La Bolontio
(perhatikan lubang tempat mata yang tampak hanya satu)
Dalam Buku Tembaga (Assajaru Huliqa Darul Bathniy wa Darul Munajat) dituliskan atas kemenangan pasukan gabungan dan ketiga ksatria tersebut yang dibawah naungan kerajaan Buton, Sangia yi Gola berpantun:
La Baabaate pekapanda karomu, Lakapolukaapeelomo lungona” (wahai kupu-kupu besar, rendahkanlah dirimu, Lakapoluka telah meminta isinya). Lakapoluka adalah nama suatu tempat di Boneatiro di teluk Kapontori. Disanalah La Bolontio dikuburkan. Lungo adalah mayat yang disimpan dalam peti sebelum dikuburkan.
Kawolena Wajo, pindana paepaeya” (ikan kering --yang dibelah-- oleh Wajo, pindangnya ikan paepaeya). Maksud pantun itu adalah memberi gambaran bagaimana Batumbu mengamuk membelah-belah tubuh pasukan La Bolontio. Pindangnya ikan paepaeya adalah alat vital La Bolontio yang telah dipenggal dan ditaruh dalam periuk tanah untuk diperlihatkan kepada Sangia yi Gola.
Semasa Rajamulae (bergelar Rajamulae karena yang memulai syiar Islam) pada tahun 1511 datanglah seorang ulama kharismatik dari Arab bernama Sayid Abdul Wahid. Ulama kharismatik ini berhasil mengislamkan Sangia yi Gola dan kerabat kerajaan lainnya. Di kalangan masyarakat Buton Sangia yi Gola dikenal juga dengan nama muslimnya: Umar Idgham. Dipeluknya Islam oleh Raja dan kerabat kerajaan berpengaruh besar dalam kehidupan ketatanegaraan dari sistem kerajaan Buton menjadi Kesultanan. Namun sebelum ketatanegaraan itu resmi, legal dibentuk, Sayid Abdul Wahid menyampaikan bahwa pembentukan sistem kesultanan harus dikordinasikan, dilegalisir, disyahkan atas restu Khilafah Islamiah di Istanbul-Turki yaitu pada Mufti Makkah dan Sultan Otsmaniah. Maka diutuslah Sayid Abdul Wahid ke Istanbul guna mendapatkan legalitas kerajaan menjadi kesultanan.
Setelah Sangia yi Gola, Umar Idgham uzur dan wafat, akhirnya La Kilaponto termasuk dipertimbangkan sebagai kandidat raja menggantikan pamannya sekaligus ayah mertuanya sebagai Raja Buton ke-6. Melalui pertimbangan yang matang dan musyawarah oleh Patalimbona (empat pemimpin sebagai dewan wakil Rakyat) Lakilaponto ditetapkan menggantikan pamannya, ayah mertuanya sebagai Raja Buton ke-6. Di Buton La Kilaponto dikenal juga dengan gelarnya Timbang-Timbangan.
Sayid Abdul Wahid melakukan perjalanan ke Turki selama kurang lebih 15 tahun. Ketika beliau kembali ke Buton, yang menjabat sebagai Raja adalah La Kilaponto. Sesuai dengan amanat Sangia yi Gola alias Umar Idgham maka Sayid Abdul Wahid melantik secara resmi Raja Buton ke-6 La Kilaponto sebagai Sultan Buton I dengan gelar Sultan Muhammad Isa Kaimuddin Khalifatul Khamis. Gelar Khalifatul Khamis (Khalifah ke-5) maksudnya adalah sebagai pelanjut Khalifah yang ke-4 (Khalifah Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib). Gelar Khalifatul Khamis umum dipakai oleh para sultan yang berada dalam jaringan kekhalifahan Islamiah.
Versi lain mengatakan bahwa nanti pada tahun 948 H (1538 M) bertepatan hari Jumat datanglah utusan dari Khilafah Islamiah (Istambul-Turki) bernama Abdullah Waliullah dan utusan syarif Makkah (Masjidil Haram) bernama Syarif Ahmad maka La Kilaponto dilantik resmi menjadi Sultan Buton I.
Pada masa pemerintahan Sultan Murhum dengan dibantu oleh Sayid Abdul Wahid dan Syarif Muhammad (Saidi Raba), falsafah kerajaan Buton yang telah ada pada tahun 1292 M di zaman pemerintahan Patamiana (Patalimbona) dan Raja Buton ke-1 Wa Kaa Kaa yaitu falsafah Sara Budiman (Bhinci-Bhinciki Kuli) kembali dielaborasi dan dikembangkan. Pada saat itu Kesultanan Buton juga tengah menghadapi sejumlah ekspansi dari kerajaan lain seperti kerajaan Gowa dan Ternate. Falsafah yang dielaborasi dari Sara Budiman dengan mengakulturasikan ajaran Islam adalah falsafah jihad Yinda-yindamo Karo Somanamo Lipu yang kemudian menjadi Bolimo Karo Somanamo Lipu. Kedua falsafah Kesultanan Buton tersebut (Syara Budiman dan Bolimo Karo Somonamo Lipu) selanjutnya oleh Sultan Buton ke-4 Sultan Dayanu Ikhsanuddin bersama ulama Saidi Raba pada tahun 1610 M dielaborasi kembali bersama ajaran Wahdatul Wujud menjadi UUD Kesultanan Buton yaitu Murtabat Tujuh dan penjelasannya dalam UU (Istiadatul Azali). Dengan berkembangnya Islam di Kesultanan Buton maka kerajaan-kerajaan lain sekitarnya turut pula diIslamkan termasuk kerajaan Muna dan kerajaan Konawe. Syiar Islam yang dilakukan oleh Kesultanan Buton setelah ulama kharismatik Sayid Abdul Wahid dan Saidi Raba dilanjutkan oleh para ulama Buton yang digembleng dalam lingkungan keraton Kesultanan Buton. Tugas ini diemban dan diamanatkan kepada para ulama di Buton-- disebut sebagai Lebe (pengemban syiar Islam). Di Kerajaan Konawe agama Islam disyiarkan oleh cucu dari La Ngkariri (Sultan Buton ke-19, Oputa Sangia) bernama La Teke (masyarakat Konawe kemudian menyebutnya sebagai guru, Laode Teke).
Satu hal yang menarik bahwa berkembangnya ajaran Islam dijazirah tenggara sulawesi adalah berkat syiar Islam yang dilakukan oleh Kesultanan Buton dengan mengirimkan para ulamanya sebagai kontinuitas syiar Islam yang telah dilakukan oleh para pendahulunya yaitu Sayid Abdul Wahid dan Saidi Raba. Syiar Islam di jazirah tenggara sulawesi ini adalah perjuangan antara ulama dan umara mulai dari Sayid Abdul Wahid, Rajamulae (Umar Idgham), La Kilaponto (Muhammad Isa Kaimuddin), Saidi Raba (Syarif Muhammad), La Elangi (Dayanu Ikhsanuddin), La Ngkariri (Saqiyuddin Darul Alam).



Sultan Muhammad Isa Kaimuddin memerintah selama 26 tahun sebagai sultan dan sebelumnya selama 20 tahun memerintah sebagai raja. Pada tahun 1564 M, Sultan Muhammad Isa Kaimuddin wafat. Tatkala itu usianya mencapai 86 tahun. Beliau dimakamkan di dalam kawasan Benteng Keraton Kesultanan Buton yang berhadapan dengan Masjid Agung Keraton Buton. Setelah wafat beliau lebih dikenal dengan gelarnya: Sultan Murhum. Pada dinding makam bagian depan yang bercat putih tertulis relief aksara buri Wolio (huruf Arab-Wolio): Makam Sulthan Murhum.

silsilah rajaa2 muna